‎​Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Muhammad Hanif Dhakhiri menilai, penerapan sistem proporsional pada Pemilu 2014 masih dipandang sebagai sistem pemilu paling tepat untuk negara demokrasi baru seperti Indonesia.

"Ini penting karena kalau kita melihat pengalaman di banyak negara, perubahan sistem pemilu paling cepat dilakukan setelah 2-3 kali pemilu berjalan. Sistem proporsional yang kita terapkan saat ini baru dipakai pada pemilu 2009 lalu. Rasanya belum cukup memadai untuk diutak-atik prinsip-prinsip dasar dalam sistem tersebut," kata Hanif di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.

Selain itu, penerapan sistem proporsional juga sudah tepat karena dari berbagai indikator. Indonesia, menurutnya, belum tergolong negara maju melainkan negara berkembang dengan demokrasi baru atau new emerging democracy.

"Bahwa variasinya disesuaikan dengan konteks sosio-politik dan kultural masyarakat Indonesia itu memang sudah seharusnya corak utamanya tetap proporsional," katanya.

Menurut dia, revisi sistem pemilu perlu dipahami sebagai langkah untuk memperbaiki kekurangan dari sistem yang berlaku sebelumnya.

"Jadi bukan untuk mengubah sistem yang baru sekali diterapkan dalam pemilu kita," kata Ketua DPP PKB itu.

Ia menambahkan, maka revisi UU Pemilu tidak semestinya ngoyoworo atau melebar kemana-mana yang tidak jelas. Kalau terlalu melebar justru berpotensi merusak capaian-capaian positif yang sudah ada atau sekurang-kurangnya bisa memicu deadlock politik yang pada akhirnya membuat penyelenggara pemilu kehilangan waktu untuk persiapan pelaksanaan pemilu.

"Pada sisi lain, rakyat juga akan makin asing dengan sistem pemilu yang terlalu cepat berubah-ubah," ujar dia.

‎Revisi UU Pemilu nanti dituntut untuk lebih fokus, dimana nantinya ditujukan kepada kekurangan dari sistem pemilu yang ada.

Belajar dari pengalaman pemilu 2009 lalu, yang paling menjadi masalah dan menghasilkan banyak gugatan adalah soal penghitungan suara tahap ketiga. Masalah ini, katanya, terkait dengan metode konversi suara ke kursi.

Menurutnya, masalah pokok yang harus diselesaikan dalam konteks revisi itu. Selebihnya adalah masalah teknis belaka seperti soal mencontreng atau mencoblos yang nantinya lebih banyak merupakan kewenangan penyelenggara pemilu. Jika soal metode konversi suara itu selesai, saya kira sistem yang sekarang ini sudah cukup memadai baik dari sudut pandang proporsionalitas maupun keterwakilan.

"Hampir tidak ada trend politik di dunia ini yang bergeser dari sistem proporsional ke sistem distrik. Rata-rata  sebaliknya, dari sistem distrik ke sistem perpaduan distrik dan proporsional, lalu terakhir ke sistem proporsional," kata Hanif.

Anggota DPR RI Komisi X itu menambahkan, dalam kerangka penyempurnaan sistem pemilu kita, maka perdebatan soal distrik atau proporsional, lalu soal dapil diperkecil atau diperbesar, alokasi kursi di dapil dikurangi atau ditambah, itu semua tidak relevan.

"Bahkan soal parliamentary threshold (PT) dinaikkan atau diturunkan juga tidak relevan. Angka 2.5 persen atau setinggi-tingginya 3 persen itu sudah cukup untuk mendorong penyederhanaan parpol, terutama lagi jika PT itu diberlakukan secara nasional," sebutnya.

‎Terakhir, katanya, diperlukan konsensus politik mengenai batasan waktu bagi Indonesia untuk mengevaluasi sistem pemilunya. Ia menyarankan, evaluasi untuk keseluruhan dari sistem pemilu secepatnya dilakukan tahun 2019 atau idealnya 2024

Untuk saat ini, tambahnya, perlu dibatasi dan fokus pada perbaikan terhadap sistem yang sudah ada dan sedang berjalan.

"Kalau sedikit-sedikit kita ganti sistem, republik ini tak akan pernah bisa matang dalam membangun sistem politik dan berdemokrasi. Kita sudah berhasil membangun rumah dalam konteks sistem pemilu. Yang kurang saja kita rehab seperlunya. Merobohkan rumah itu adalah tindakan ceroboh dan tentu saja tidak bijaksana. Semua elemen politik dituntut untuk makin arif dan dewasa agar kita tidak buang-buang waktu berdebat yang tak perlu atau memicu konflik yang sejatinya sangat bisa kita hindari," tutupnya.
(zul)

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011