Jakarta (ANTARA News) - Konferensi Tingkat Tinggi ke-18 ASEAN telah membahas isu perompakan sebagai salah satu agenda di antara berbagai agenda lainnya. Hasilnya, perhimpunan itu sepakat untuk menggelorakan perang melawan perompakan.

Pilihan untuk membahas isu perompakan sangat tepat karena beberapa negara anggota yang kapal-kapalnya kebetulan melayari Teluk Aden telah menjadi korban pembajakan oleh lanun Somalia. Yang terbaru adalah kapal berbendera Singapura, MT Gemini yang sampai kini belum jelas bila akan dilepaskan.

Sebelumnya, kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan oleh maskapai Samudera Indonesia (Samin), MV Sinar Kudus, menjadi sasaran bajak laut Somalia. Namun sudah dilepaskan dengan membayar tebusan.

Di samping itu, dimasukannya perompakan dalam materi pembicaraan KTT kali ini, seperti disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa,  disebabkan ASEAN telah memiliki mekanisme penumpasan perompakan, paling tidak yang merajalela di Selat Malaka, yang telah diakui oleh kalangan internasional keampuhannya dan jika bisa diterapkan di Teluk Aden dapat mengurangi pergerakan bajak laut Somalia.

Hanya saja, bagi Indonesia isu perompakan mau tidak mau akan memunculkan sejumlah dilema yang pada derajat tertentu dapat mempengaruhi perannya dalam pengamanan Selat Malaka atau penumpasan aksi perompakan di belahan dunia lainnya. Apa saja handicap Indonesia dalam memberantas perompakan itu?

Potret kerjasama
Pengamanan Selat Malaka dari ancaman perompakan saat ini dilakukan oleh tiga negara selat (the litoral states), yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Masing-masing negara telah mengadopsi sejumlah langkah untuk mengamankan perairan tersibuk di dunia tersebut. Misalnya, TNI AL telah mereformasi pola operasi dan memodernisasi peralatannya sehingga patroli mereka sangat efektif dalam menangkal kegiatan ilegal.

Kemudian, TNI AL juga telah mendirikan berbagai pusat komando yang beranggotakan pasukan khusus untuk merespon perompakan. Komunitas pelayaran nasional pun telah mengetahui keberadaan unit-unit ini dan jika terjadi perompakan mereka bisa langsung berkomunikasi untuk mendapatkan bantuan.

Dalam upayanya itu, TNI AL mendapat dukungan dari AS berupa pembangunan radar pantai di sepanjang Selat Malaka dan Selat Makassar.

Sementara itu, AL Malaysia (Royal Malaysian Navy/RMN) juga telah membangun beberapa stasiun radar di sepanjang Selat Malaka untuk memonitor pergerakan kapal. Mereka juga membeli kapal-kapal patroli baru dan membentuk unit-unit pasukan khusus untuk mengawal kapal yang rawan upaya perompakan.

Dan, nampaknya yang paling utama dalam kebijakannya melawan ancaman di laut, Malaysia telah mendirikan Malaysian Maritime Enforcement Agency (MMEA) pada tahun 2005 lalu dengan melebur berbagai institusi kemaritiman yang ada sebelumnya. Lembaga ini merupakan coastguard negara tersebut.

Singapura juga tidak ketinggalan dalam upaya mengamankan Selat Malaka. Negara singa itu telah menerapkan pengawasan dan informasi terpadu terhadap pergerakan kapal-kapal yang mencurigakan; meningkatkan patroli AL-nya (Republic of Singapore Navy/RSN); pengawalan selektif terhadap kapal-kapal yang mengangkut muatan berharga; dan, menaiki secara selektif kapal-kapal kargo.

Tidak ketinggalan, Singapura juga mengubah rute pelayaran kapal-kapal pengangkut komoditas berharga untuk mengurangi ancaman terhadap kapal-kapal itu dari berbagai kapal-kapal kecil yang berlalulalang di perairan Singapura.

Upaya ketiga negara selat tadi diperkuat lagi dengan berbagai kerjasama di antara mereka seperti operasi Malsindo (Malaysia, Singapura dan Indonesia). Dimulai sejak 2004, kegiatan ini melibatkan 17 kapal perang dari masing-masing negara yang berpatroli dalam perairan teritorial dan zona eksklusif ekonomi (ZEE) masing-masing.

Operasi ini pada 2008 berubah nama menjadi Malacca Straits Patrol/MSP untuk mengakomodasi masuknya Thailand dalam berbagai operasi pengamanan selat.

Di samping itu, ada juga kerjasama pengamanan Selat Malaka yang dikenal dengan istilah Eyes in the Sky (EiS) yang diluncurkan pada 2005. Dalam kerjasama ini masing-masing negara peserta menerbangkan maritime patrol aircraft (MPA)-nya dalam dua sorti setiap minggunya.

Pesawat-pesawat ini diizinkan terbang di atas perairan negara peserta kerjasama. Kerjasama empat negara ini juga dilengkapi dengan pertukaran data intelijen, dinamai intelligence exchange group (IEG) yang dimulai pada 2006. Hasil analisis intelijen terhadap berbagai kejadian di Selat Malaka oleh kelompok ini selanjutnya disebarkan secara real-time melalui Malacca Straits Patrol Information System (MSP-IS). Coastguard Jepang, India dan AS juga tidak ketinggalan dalam ikut mengamankan selat ini dengan berbagai programnya.

Dengan gelar kekuatan seperti di depan, Selat Malaka, juga Selat Singapura, kini menjadi relatif lebih aman. Namun, ancaman perompakan bergeser ke Laut China Selatan, tepatnya di Pulai Mangkai, Anambas, wilayah provinsi Kepulauan Riau. International Maritime Bureau (IMB) pun telah mengeluarkan peringatan kepada kapal-kapal yang melayari lokasi tersebut.

Menurut catatan lembaga tersebut, September tahun lalu sebuah tanker Jepang telah dibajak di dekat Anambas. Para pembajak mencuri uang dan kemudian melarikan diri tanpa melukai para kru dari kapal Iino Kaiun Kaisha Ltd. Ini adalah aksi bajak laut ke 27 kalinya di laut China Selatan sejak Februari 2010. Pulau Mangkai berada di jalur sibuk pelayaran sampai sepanjang pantai timur semenanjung Malaysia. Ini adalah jalur pelayaran antara negara-negara Asia Timur dan Samudera Pasifik.

Permasalahan Indonesia
Kendati telah terlibat aktif dalam mengamankan Selat Malaka, namun ada sejumlah permasalahan yang melilit Indonesia dalam upayanya memberantas perompakan. Pertama, Indonesia sebetulnya tidak mengakui adanya tindak perompakan terutama yang terjadi di perairannya. Sikap ini diambil beralaskan definisi tentang perompakan yang tercantum Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS 1982 Pasal 101.

Menurut ketentuan itu, pembajakan di laut terdiri dari salah satu di antara tindakan berikut: setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta (poin a).

Dengan poin ini, suatu tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah dapat dikategorikan sebagai pembajakan bila ditujukan: di laut lepas, dan di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun.

Sementara pada poin b dalam ketentuan yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 itu, pembajakan dapat pula berupa “setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak.” Atau, poin c, setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam poin a atau b.

Karenanya, manakala IMB, melalui Piracy Reporting Center mereka di Kuala Lumpur, merilis secara rutin data statistik perompakan dan secara rutin pula memasukkan beberapa perairan di Indonesia sebagai kawasan rawan perompakan pemerintah dengan keras membantahnya. Apa yang dicatat oleh IMB tak lain adalah perbuatan pencurian belaka.

Permasalahan kedua, Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation 1988. Padahal, ketentuan yang dikenal dengan istilah SUA Convention oleh dunia kemaritiman internasional ini relatif lebih efektif dalam menangkal pembajakan kapal ketimbang UNCLOS 1982.

Menurut informasi yang didapat dari Kementerian Luar Negeri, belum diratifikasinya peraturan yang telah diberlakukan sejak 1992 oleh IMO ini karena Indonesia tidak sepakat dengan prinsip interdiction-nya.

Di samping SUA Convention, Indonesia juga tidak terlibat dalam sebuah peraturan regional untuk penangkalan pembajakan, yaitu Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robery against Ships in Asia yang dikenal dengan singkatan ReCAAP. Forum kerjasama ini digagas pada 2001 oleh PM Junichiro Koizumi dari Jepang. Malaysia juga tidak menjadi anggota klab tersebut.

Di luar Indonesia dan Malaysia, negara anggota ASEAN yang lain bergabung di dalam dalam ReCAAP bersama China, Korea Selatan, India, Sri Lanka dan Bangladesh. Jika IMB memiliki PRC di Kuala Lumpur, organisasi itu mengoperasikan Information Sharing Center di Singapura dengan tugas relatif sama: mencatat peristiwa perompakan. Keanggotaan organisasi ini bertambah dengan masuknya Norwegia.

Ada baiknya komitmen Indonesia untuk terlibat dalam upaya pemberantasan pembajakan laut dimulai dengan niat untuk lebih membuka diri terhadap berbagai upaya sejenis yang digagas oleh bangsa lain. Di samping itu, komunikasi dengan IMB sudah saatnya juga lebih diintensifkan; jangan hanya saling berbantahan.

Apa yang mereka sampaikan sedikit atau banyak bisa menjadi masukan bagi upaya kita dalam mengamankan perairan nasional, yang suka atau tidak suka, memang dicemari oleh tindak kejahatan terhadap kapal baik oleh penjahat swasta maupun penjahat berseragam. (***)

*) Direktur The National Maritime Institute (Namarin),  sebuah think tank kemaritiman independen di Jakarta

Oleh Siswanto Rusdi*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011