Jakarta, (ANTARA News) - Komisi IV DPR mempercepat pembahasan RUU tentang pembalakan liar (illegal Logging) agar pemberantasan praktik pencurian kayu dan perambahan hutan memiliki dasar hukum yang kuat. Demikian ditegaskan Ketua Komisi IV DPR Yusuf Faishal kepada Pers di Gedung DPR/MPR Senayan Jakarta, Senin (9/1) berkaitan dengan kunjungan kerja tim Komisi IV DPR ke Provinsi Sulawesi Tenggara pekan lalu. Yusuf mengungkapkan, praktik pembalakan liar dan perambahan hutan di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) khususnya di Kabupaten Muna semakin marak. Hutan tanaman Jati di Kendari Selatan seluas 23.000 Ha lebih kini tersisa sekitar 1.000- 2.000 hektare. Dia mengakui, cukup sulit memerangi pembalakan liar di Sultra karena di samping perambah hutan kelas kakap juga ada yang dilakukan oleh masyarakat. "Persoalannya masyarakat mana yang harus dihukum," kata Yusuf. Menurut dia, jika masyarakat suatu desa yang melakukan, maka penduduk satu desa itu harus ditangkap. "Sekarang pakai UU apa kita harus menangkap pelaku pembalakan sebanyak itu. Inilah yang membuat pelaksanaan UU ini dilematis. Di sisi lain, UU tentang Kehutanan yang sudah ada dianggap belum cukup kuat," tegasnya. Karena itu, pemberantasan pembalakan liar harus dengan dasar hukum yang kuat sebelum penangkapan dilakukan. Apalagi dalam penangkapan tidak hanya pelakunya, tetapi juga yang merencanakan dan penadah kayu curian. Menurut Yusuf, proses pengundang-undangan pembalakan liar ini merupakan target ketiga dari Komisi IV setelah UU Penyuluhan Pertanian dan UU Pengolahan Wilayah Pesisir. Berkaitan dengan kasus Kontu yang terjadi di Kabupaten Muna, Yusuf mengatakan, sebaiknya Komisi IV membentuk Tim Khusus untuk melakukan pendalaman terhadap permasalahan tersebut. Masyarakat sudah bertahun-tahun mendiami kawasan hutan lindung tersebut dan tidak mau dipindahkan ke tempat lain. Pemda akan ambil alih hutan itu karena kerusakan yang dilakukan penjarah sangat parah. Yusuf menambahkan, hutan lindung itu mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi, dapat diperkirakan nilai ekonomis pohon jati yang berdiameter sampai satu setengah meter itu. Pada saat terjadi penjarahan hutan Pemda membiarkannya karena penanganan hutan lindung itu adalah kewenangan pemerintah pusat. Sementara itu Pemerintah Pusat tidak menempatkan polisi hutan untuk menjaga hutan itu secara ketat, sehingga terjadilah penjarahan. "Kalaupun ada Polisi hutan paling banyak jumlahnya hanya satu atau dua orang. Bagaimana bisa menjaga hutan lindung yang puluhan ribu hektar itu," kata Yusuf. Untuk itu dalam rapat kerja mendatang dengan Menteri Kehutanan, Komisi IV akan mengangkat masalah itu, dan meminta Menhut untuk memperhatikan keberadaan polisi hutan di setiap hutan lindung, baik jumlah personil maupun sarana dan prasarananya.(*)

Copyright © ANTARA 2006