Malu banget, ada perwakilan FIFA di sana. Kecewa!"
Jakarta (ANTARA News) - Dari antaranews.com sampai kompas.com, yahoo, dan media-media online lain, bagian terbesar publik menyayangkan, bahkan mengecam, akhir Kongres PSSI yang semestinya menghasilkan sistem kepemimpinan baru yang reformatif, malah berujung mengecewakan yang menaruh sepakbola nasional dalam skenario dikenai sanksi FIFA.

Kongres PSSI kedua yang digelar Komite Normalisasi Jumat pekan lalu kembali ricuh.  FIFA meradang dan mengecam tindakan peserta Kongres yang sengaja atau tidak, telah menggagalkan kongres itu.

"Saya kecewa dengan pelaksanaan kongres. Mereka menghina Komite Normalisasi, menghina saya, dan menghina FIFA. Tidak ada sopan santun," kata anggota Komite Etik FIFA dari Indonesia, Dali Tahrir, mengutip ucapan utusan FIFA, Thierry Regenass.

Faktanya, masyarakat Indonesia pun mengecam akhir drama yang sangat mengecewakan itu.  Beberapa diantaranya mengutarakan langsung ekspresi hatinya kepada jalan dan hasilnya Kongres PSSI lalu itu, kepada ANTARA News.

"Kekisruhan PSSI sekarang lebih buruk dari era Nurdin Halid," kata Rizky Wahyudiono (44), pengusaha asal Bandung yang sedang berada di Jakarta untuk urusan bisnis.

Mungkin Rizky berlebihan, tetapi banyak orang Indonesia yang memang sudah melihat pertarungan memperebutkan orang-orang nomor satu di payung resmi sepakbola nasional itu sebagai tidak lagi demi memajukan sepakbola nasional.

Sejumlah orang lainnya malah sebal melihat nuansa politik demikian kental sehingga bertindak jauh dari spirit inti olahraga, yaitu sportivitas.

"Kalau melihat kengototan peserta kongres, jelas ada berbagai kepentingan di sana," kata Arya Pratama (23), mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta.

Arya menunjuk bungkus politik dan pertarungan mencapai akses ekonomi sudah demikian pekat dalam proses kongres lalu.

Sebaliknya Muhammad Yunus (26), pekerja swasta di Jakarta, kecewa kepada kinerja Komite Normalisasi yang disebutnya tidak lebih baik dari kinerja panitia Kongres PSSI pertama yang juga berakhir ricuh.

Namun Yunus tetap mendukung Komite Normalisasi karena inilah satu-satunya harapan bagi Indonesia untuk mereformasi sepak bola Indonesia.

"Malu banget, ada perwakilan FIFA di sana. Kecewa!, tapi kita harus tetap mendukung Komite Normalisasi," kata Yunus.

Jangan egois

FIFA telah menolak empat kandidat ketua umum PSSI 2011-2015.  Mereka adalah Nurdin Halid, Nirwan Dermawan Bakrie, George Toisutta dan Arifin Panigoro.

Tapi sejumlah orang yang menamakan diri Kelompok 78 ngotot mendukung George Toisutta dan Arifin Panigoro.  Mereka mengabaikan keputusan FIFA, bahkan menyangsikan kompetensi dan netralitas Ketua Komite Normalisasi Agum Gumelar.
 
"Pak George dan Arifin memang sosok yang kharismatik dan kompeten," kata Rizki yang ditemui ANTARA News di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senin lalu.

Tapi Rizky, seperti halnya kebanyakan masyarakat sepakbola  nasional, kecewa terhadap sikap Kelompok 78 yang ngotot meloloskan George dan Arifin, padahal FIFA tidak merestuinya.

"Demokrasi sih boleh, tapi kalau ngotot seperti itu, apa itu demokrasi?" kata Rizki.

Hal senada disampaikan oleh Pujianto (46) dan Dedi Yusliadia (39).  Keduanya adalah pekerja swasta di Jakarta.  Mereka mengatakan bagaimana sepakbola Indonesia maju jika pengurus internal PSSI tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri.

"Namanya kisruh itu tidak etis, jelek," kata Pujianto.  "Lebih baik nonton Real Madrid ketimbang nonton sepak bola tanah air yang isinya beranten terus," sambung Dedi.

Rizky malah menganjurkan George Toisutta dan Arifin Panigoro membujuk Kelompok 78 untuk menerima keputusan FIFA dan mendukung kerja Komisi Normalisasi.

"Tidak perlu menjadi Ketua PSSI untuk memajukan sepak bola Tanah Air," kata Rizky.

Dedi justru berujar lebih keras, "Mundurlah, janganlah egois. Ini untuk kebaikan Indonesia."

Wajah baru

Orang  awam seperti Rizky malah bisa menilai bahwa Arifin telah melakukan kesalahan dengan membuat liga tandingan, yaitu Liga Primer Indonesia.   Faktanya, Regenass menyatakan dengan tegas bahwa tabu bagi FIFA melihat liga yang berjalan di luar wewenang federasi sepakbola resmi.

Tidak semua orang memiliki pandangan seperti Rizky.  Ibrahim Sutani (27) misalnya.

Akuntan publik di Jakarta ini malah mendukung langkah Arifin Panigoro karena Arifin dinilainya memiliki visi dalam memajukan sepak bola nasional.

"Sayang sekali, jika dia tidak menjadi kandidat," kata Ibrahim.

Lantas, siapa sih yang sebenarnya diinginkan masyarakat bisa memimpin PSSI.

Rizky mengatakan PSSI lebih tepat dipimpin seorang pemimpin berlatar belakang militer karena mereka terbiasa disiplin dan tegas.  Selain George Toisutta, Rizky juga mencalonkan Agum Gumelar.   

Pendapat Rizky bertentangan dengan Dedi.   Pria ini berkata, "Yang mampu memimpin saja lah.  Mau militer, pengusaha, kaya, miskin, muda atau tua, akan percuma jika tak mampu memimpin."

Sementara Ibrahim mengharapkan pemimpin PSSI adalah orang-orang yang bersih, jujur dan adil.  Jika pemimpin sepakbola tidak memiliki karakter-karakter ini, maka akan percuma karena akan sama jeleknya dengan kepengurusan sebelumnya.

Ibrahim adalah jenis orang yang menginginkan sosok pemimpin yang sama sekali baru.

Lain lagi dengan Arya.  Dia memimpikan tokoh muda memimpin PSSI, namun yang tua tetap mendampingi kalangan muda yang memimpin PSSI itu.

"Sudah saatnya PSSI dipimpin tokoh muda," kata Arya. (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011