Jakarta (ANTARA News) -  Memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia 31 Mei di negeri ini agaknya masih berkutat pada satu pertanyaan yang sampai sekarang tak terjawabkan. Mengapa orang Indonesia suka sekali merokok?

Pergilah ke pasar tradisional, terminal, atau tempat hiburan, dan kafe-kafe, maka tempat itu akan terasa sesak karena penuh asap rokok.

Di Taman Suropati, Jakarta Pusat, yang sejuk rindang pun, tidak bisa bebas dari asap rokok, karena sambil jalan-jalan dan bercengkerama, ada saja pengunjungnya yang merokok. Juga lihatlah beberapa pelatih les biola di tempat itu juga ada yang merokok, meski mereka sedang berada di tengah-tengah anak-anak yang sedang berlatih menggesek biola.

Di taman yang asri itu juga terlihat beberapa pasangan kekasih di bawah pohon rindang dengan selimut asap rokok. Yang perempuan hanya diam saja ketika teman laki-lakinya mengepul seenaknya. Tak ada yang berani menolak perokok.

Sopir-sopir bis angkutan umum ber-AC, sopir mikrolet, sopir oplet,  juga tidak peduli, sambil menyetir juga mengepulkan asap rokok dari mulut dan hidungnya. Penumpang hanya pasrah melihat sopir merokok. Apalagi si sopir bajaj, yang posisi duduknya sangat dekat dengan penumpang, tokh juga terus merokok dan tidak peduli dengan penumpangnya adalah anak sekolah atau ibu yang membawa bayi.

Anak-anak SD dan pelajar remaja saja juga sudah jadi perokok. Mereka memilih tidak membeli tiket kereta api,  tapi duduk dengan tenang sambil mengepulkan asap rokoknya di atas gerbong kereta api. Harga rokok memang murah sekali, cukup dijangkau dengan uang jajan anak-anak. Menurut Hakim Sorimuda Pohan,SpOG dari Indonesia Tobacco Control Network, para perokok ini sebenarnya termasuk kelompok masyarakat kurang beradab, karena tidak memenuhi aturan. Pihak Komnas Pengendalian Tembakau pada dasarnya juga tidak melarang orang merokok karena ini merupakan hak asasi, tapi di sisi lain ada hak orang lainnya untuk sehat dan harus dilindungi.

Tahun 2010 tercatat 80 juta orang perokok, dan yang memprihatinkan adalah 70% di antaranya dari keluarga pas-pasan dengan UMR Rp 800 ribu per bulan. Setengah dari gajinya yang kecil itu habis untuk beli rokok. Indonesia penghasil daun tembakau terbesar kelima setelah Cina, Brazil, Indonesia dan AS. Produksi rokok tahun 2010 sebanyak 250 miliar bungkus.

Dengan persentase penduduk miskin yang besar, maka masalah ini tetap menjadi serius untuk dicarikan solusinya.

Menurut catatan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, saat ini Indonesia menempati urutan ke-3 sebagai negara konsumen rokok tertinggi di dunia dengan konsumsi lebih dari 225 miliar batang per tahun, di bawah Cina dan India atau hampir setengah (46%) perokok ASEAN. Prevalensi perokok pada usia 13–15 tahun, 24,5% laki-laki dan 2,3% perempuan dari total populasi Indonesia.

Sementara itu kecenderungan usia inisiasi merokok menjadi semakin dini yakni usia 5-9 tahun, ternyata mengalami lonjakan paling signifikan dari 0,4% tahun 2001 menjadi 1,8% per tahun 2004.

Kecenderungan ini akan semakin meningkat dan bertambah parah jika tidak ada intervensi apa pun dari pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan. Ini adalah masalah kita, keluarga dan anak-anak, masyarakat dan bangsa Indonesia.

Korban asap rokok juga sudah berjatuhan karena risiko kesehatan yang serius, di antaranya kanker, penyakit saluran nafas dan kardiovaskuler, bau mulut, kanker mulut, yang akhirnya akan menghantam seluruh tubuh manusia dan menimbulkan konsekuensi negatif bagi dirinya sendiri,  keluarga, terutama anak-anak.

Sebagian besar perokok di Indonesia tidak benar-benar memahami akibat ini. Kondisi ini menjadi lebih buruk karena banyak perokok dari kalangan penduduk miskin yang kesehatan maupun kesejahteraannya sangat rentan. Apalagi dengan anak-anak yang sangat memerlukan makanan bergizi, namun sang ayah memilih asap rokok.

Kisah asap rokok ini akan semakin lebar, karena anak-anak yang kurang gizi ini juga menjadi perokok pasif karena setiap saat ikut juga menghirup asap rokok.

Upaya sudah dilakukan, antara lain kampanye anti rokok, ada UU Kawasan Bebas Rokok, namun jumlah perokok terus bertambah.  

Berani melawan
Bagaimana caranya mengurangi bahkan mebebaskan anak sekolah dan orang-orang miskin ini dari asap rokok? Selagi harga rokok sangat murah dan iklan rokok masih gencar di media massa serta belum seriusnya pemerintah menanggulangi masalah rokok, maka mungkin sulit untuk melawan para perokok ini.

Beberapa argumentasi mengenai suburnya asap rokok di Inonesia, adalah negeri ini masih memerlukan dana pembangunan, dan salah satu sumber terbesar adalah dari cukai nikotin, industri rokok yang ada telah menyerap jutaan tenaga kerja  serta nasib dan kehidupan petani tembakau.

Alasan individual perokok adalah umumnya cuma merokok satu batang saja, hanya iseng-iseng saja, bagian pergaulan, masih usia muda, masih bisa berhenti nantinya, sehingga sampai beberapa tahun ke depan diperkirakan jumlah perokok semakin bertambah.

Antitesisnya adalah meski rokok dapat memberi masukan yang sangat luar biasa, tapi menghancurkan masa depan anak-anak. Hal ini karena adiksi pada nikotin dalam rokok, merupakan kelas tertinggi karena sulit dihentikan. Adiksi pada rokok akan berlanjut pada adiksi minuman keras dan  narkotik. Nah, inilah faktor kuat bagi masyarakat untuk melawan ketergantungan rokok ini, sambil terus berharap pemerintah segera meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control – FCTC. .

Muncul juga pertanyaan untuk melawan tesis rokok adalah legal, yakni siapakah sebenarnya yang harus turun tangan dalam masalah rokok ini. Beberapa negara yang sudah berhasil menekan rokok, seperti Thailand, menunjukkan pemerintah sebagai bagian yang paling bertanggung jawab. Lihat saja aturan larangan iklan rokok di media  atau bungkus rokok dengan gambar-gambar visual korban rokok, bukan sekadar kata-kata rokok dapat menyebabkan penyakit jantung. Gambar kanker mulut lebih ditakuti ketimbang kata-kata bahaya rokok.

Dari pengalaman beberapa negara yang berhasil menekan rokok, menunjukkan bahwa pesan-pesan visual mengenai bahaya rokok serta regulasi ketat mengenai larangan merokok, ternyata lebih mengena bagi para perokok ini.

Oleh sebab itu, melawan perokok pada hakikatnya dapat dilakukan dengan komunikasi persuasif antara lain dengan menempatkan gambar-gambar korban rokok seperti dada berlubang akibat asap rokok, kanker parur-paru pada bungkus rokok atau spanduk di tempat-tempat strategis. Selain itu, komunikasi persuasif ini akan berhasil  dengan keteladanan yang ditunjukkan oleh para orang tua dan guru di sekolah yang tidak merokok.

Sikap untuk menolak asap rokok perlu dilakukan secara serentak, misalnya, melalui gerakan sosial anti rokok. Masih ada ruang atau peluang bagi mereka yang berani menolak asap rokok, dengan cara menunjukkan sikap bahwa pilihannya untuk tidak merokok adalah pilihan hak individu yang juga hak asasi.

Asumsinya adalah orang-orang pada hakikatnya dapat mengatakan apa yang ingin dikatakan dan di mana mereka mengatakannya. Inilah yang disebut tindak tutur atau tindak bahasa dalam komunikasi berkualitas untuk melawan perokok.

Menurut JA Austin, ahli bahasa,  dalam peristiwa berbahasa, ada tiga tindakan bahasa yakni lokusi yakni kata-kata atau kalimat itu sendiri, tindak ilokusi yakni tujuan atau niat di balik kalimat itu serta tindak perlukosi yakni efek yang diinginkan dalam menyampaikan kalimat tersebut. Nah, untuk melawan perokok, perlu dilakukan dengan tindak bahas  yang berkualitas.

Ambil contoh, ketika seorang ibu sedang berada di dalam bis ber-AC, dan si sopir merokok, maka di sinilah peluang bagi ibu untuk mengatakan secara terus terang bahwa “orang tidak boleh merokok di tempat tertutup dan ber-AC pula”.

 Sang ibu tidak melarang sopir merokok, tapi mengingatkan bahwa ada larangan merokok di ruang atau tempat ber AC. Dalam peristiwa berbahasa, ini namanya tindak lokusi, di mana si ibu mengatakan terus terang haknya untuk bebas dari asap merokok.

Dengan mengatakan bahwa “di ruang ber-AC tidak boleh merokok”, sebenarnya tujuannya adalah agar si sopir segera mematikan rokoknya, dan inilah namanya tindak ilokusi yakni niat terselubung dalam kata-kata yang disampaikan. Efek kalimat itu (tindak perlokusi) adalah sopir  mematikan rokoknya.

Pengalaman lainnya, misalnya, ketika ada sepasang kekasih yang merokok di dekat anak-anak yang sedang berlatih biola di Taman Suropati, terlihat seorang ibu yang segera menemui pasangan itu dan mengatakan bahwa “ini adalah areal anak-anak”.

Spontan saja pasangan itu minta maaf dan mematikan rokoknya. Hanya dengan mengatakan “ini adalah areal anak anak” (tindak lokusi) yang di dalamnya sudah ada tujuan yakni agar si pria mematikan rokok (tindak ilokusi) dan efek perlokusinya adalah dia minta maaf dan mematikan rokok.

Ini adalah peristiwa bahasa yang dapat dijadikan sarana menunjukkan keberanian untuk melawan perokok, sehingga tidak perlu kekuatiran akan terjadi sesuatu ketika kita akan melarang orang lain merokok.

Dalam konteks menghadapi para perokok ini, menunjukkan bahwa selain keberanian bersikap bahwa orang tidak merokok juga adalah hak asasi, juga diperlukan tindak bahasa yang berkualitas.

Melalui gerakan sosial anti rokok, peringatan bahaya rokok secara visual pada bungkus rokok atau di tempat strategis, dan tindak bahasa berkualitas, maka jumlah perokok akan berkurang. Namun, kata kunci agaknya tetap pada pemerintah yang akan menerapkan berbagai regulasi tentang pemakaian dan produksi rokok serta larangan iklan rokok di media massa.

*dosen STIKOM London School of Public Relations Jakarta  

Oleh Artini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011