Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah dinilai gagal dalam memanfaatkan momen pertemuan bilateral Indonesia-Malaysia di Bukittinggi, Sumatera Barat, untuk berdiplomasi mengenai perlindungan tenaga kerja Indonesia di Malaysia. "Lagi-lagi Indonesia gagal. Kita tidak bisa memanfaatkan pertemuan bilateral di Bukittinggi untuk berdiplomasi mengenai perlindungan Tenaga Kerja Indonesia," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Buruh Migran (ABM), Ja`far Shodiq, Jumat. Menurut dia kegagalan itu akibat lemahnya bargaining power sehingga pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda menyerahkan begitu saja draft perlindungan TKI sektor informal kepada Malaysia dalam perundingan yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Abdullah Badawi, di Bukittinggi, Kamis (12/1). "Sikap pasrah Menlu sama halnya dengan merendahkan martabat bangsa kita, terutama yang menjadi buruh migran di Malaysia," kata Ja`far saat dihubungi dari Jakarta tengah berada di Surabaya. Ia berpendapat sesunguhnya Indonesia dan Malaysia mempunyai kedudukan yang sama dan saling membutuhkan dalam sektor tenaga kerja informal, namun sayangnya posisi tawar menawar itu tidak dimaksimalkan. Padahal dalam pengamatan Aliansi Buruh Migran sejak pemerintah Malaysia mendeportasi 450 ribu TKI ilegal pada akhir tahun 2004 lalu, beberapa usaha perkebunan kelapa sawit dan sektor-sektor informal di negeri jiran itu terbengkalai karena ternyata hanya 50 ribu TKI saja yang kembali. "Kalau pemerintah kita jeli, tentu hal ini bisa dimanfaatkan untuk `bargaining` karena ternyata antara TKI dengan majikannya di sana ada simbiosis mutualisme," ujarnya. Ja`far juga menambahkan bahwa kegagalan Indonesia dalam berdiplomasi dengan Malaysia mengenai perlindungan TKI sektor informal disebabkan tidak adanya koordinasi antar menteri terkait. Menurut dia Menlu Hassan Wirajuda sebelum menyerahkan draft tentang perlindungan TKI sektor informal kepada pihak Malaysia terlebih dulu harus melakukan koordinasi dengan Manakertrans Erman Suparno dan Menneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta. Oleh sebab itu Ja`far meminta agar Indonesia meninjau ulang keputusan menyerahkan draft perlindungan TKI sektor informal selagi belum telanjur menjadi sebuah keputusan peraturan perundang-undangkan yang ditetapkan pemerintah Malaysia. "Sebaiknya pemerintah tidak mengulur-ulur waktu lagi dan segera benahi semua konsep mengenai perlindungan TKI sektor informal untuk mengurangi penderitaan mereka di sana (Malaysia)," ujarnya. Menurut Ja`far kalau pemerintah Malaysia yang menetapkan peraturan mengenai perlindungan TKI sektor informal, bukan tidak mungkin kekerasan demi kekerasan yang menimpa TKI dan TKW di Malaysia akan terus terjadi. "Sudah banyak darah dan air mata yang keluar akibat jatuhnya korban jiwa mulai dari yang cacat fisik sampai yang tewas akibat penyiksaan majikan di sana, belum lagi korban-korban kasus trafficking. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab untuk mencegahnya, jangan hanya bersikap pasrah seperti saat ini," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006