Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan pihaknya akan terus mendukung peningkatan sumber daya manusia (SDM) hingga mencapai jenjang S3 atau memperoleh gelar doktor.

"Kita akan terus mendorong pengembangan sumber daya manusia. Kita akan mendorong para sarjana-sarjana kita untuk bisa mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih tinggi ke jenjang S2 atau S3, kita akan dorong ini," ujar Arifin dikutip dari laman Kementerian ESDM di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, dengan SDM yang mumpuni, maka pekerjaan akan banyak yang terbantu.

Dukungan terhadap peningkatan SDM tersebut dibuktikan Menteri Arifin dengan menghadiri Sidang Promosi Doktor Kriminologi Universitas Indonesia, yang sekaligus juga menjabat Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM M Idris F Sihite, Senin (27/12/2021).

Baca juga: Menteri ESDM jabarkan penggunaan anggaran Rp5,89 triliun pada 2022

Sidang terbuka tersebut membahas banyaknya aset hasil korupsi yang disembunyikan para koruptor di luar negeri, tak terdatanya jumlah yang dilarikan, dan sulitnya pemerintah Indonesia melakukan perampasan.

Dalam pidatonya, Idris memaparkan hambatan berlapis Pemerintah Indonesia dalam usaha menarik aset-aset hasil korupsi yang tersebar di banyak negara.

"Lapis pertama, sulitnya melacak keberadaan aset koruptor karena umumnya sudah dialihkan ke dalam bentuk dan atas nama orang lain. Lapis kedua, kalaupun keberadaan diketahui, perbedaan sistem hukum menyulitkan upaya perampasannya. Sedangkan, lapis ketiga adalah proses mengembalikan aset sering terhalang formalitas sistem birokrasi," jelasnya.

Baca juga: Menteri ESDM sebut perlu pemutakhiran alat pemantauan gunung api

Menurut dia, sulitnya mengembalikan aset ini dikhawatirkan membuat banyak koruptor menggunakan modus serupa untuk menyembunyikan hasil kejahatannya di luar negeri. Terlebih, angka korupsi di Indonesia 16 tahun terakhir tercatat telah mencapai Rp225,7 triliun.

"Angka tersebut setara dengan biaya mengalirkan listrik di 5.040 desa terpencil atau setara biaya pendidikan untuk 3,36 juta siswa sampai ke perguruan tinggi," tambahnya.

Dalam posisi negara sebagai korban, menurut Idris, dampaknya pada kemampuan negara melaksanakan fungsinya.

Sebab, apabila korupsi dilakukan birokrat, maka birokrat tersebut adalah pelaku viktimisasi negara, padahal di lain pihak birokrat adalah instrumen negara yang berkewajiban untuk melakukan penarikan aset.

"Selain itu, terdapat persepsi di kalangan aparat penegak hukum bahwa negara adalah entitas yang abstrak, mereka menganggap tidak ada yang dirugikan secara langsung. Maka, dapat disimpulkan bahwa negara adalah korban tersamar kejahatan korupsi dan melalui analisis teori prisma kejahatan disebut the state as invisible victim," tandas Idris.

Setelah mendengar sanggahan atas pertanyaan dewan penguji, pimpinan sidang akhirnya memutuskan Idris Sihite dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan berhak menyandang gelar doktor kriminologi. Promovendus itu tercatat sebagai doktor kriminologi ke-28 di Departemen Kriminologi Universitas Indonesia.

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021