Pangkal masalahnya karena pandemi COVID-19 masih akan berlanjut di sejumlah negara, dan ketidakpastian sejumlah bank sentral negara maju menjalankan kebijakan tapering off, khususnya The Fed
Jakarta (ANTARA) - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menilai pasar keuangan global masih akan menghadapi ketidakpastian pada 2022 seiring pandemi COVID-19 yang masih menyebar secara luas meski tidak separah tahun-tahun sebelumnya.

"Pangkal masalahnya karena pandemi COVID-19 masih akan berlanjut di sejumlah negara, dan ketidakpastian sejumlah bank sentral negara maju menjalankan kebijakan tapering off, khususnya The Fed," ujar Said dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Selain itu, lanjut Said, krisis keuangan yang menimpa Evergrande, perusahaan properti terbesar di China yang mengalami gagal bayar, juga harus diantisipasi. Keadaan tersebut dinilai berpotensi menghantam berbagai lembaga keuangan.

"Komite Stabilitas Sektor Keuangan atau KSSK harus antisipatif kemungkinan dana keluar, yang memberi dampak tekanan besar terhadap nilai tukar rupiah," kata Said.

Meluasnya varian Omicron di segenap negara kembali mengoreksi pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara. European Center for Desease Prevention and Control (ECD) telah mengingatkan sejumlah otoritas di Eropa bahwa varian omicron akan menyebabkan tingkat infeksi yang tinggi secara dominan di Eropa.

Menurut Said, pandemi COVID-19 kemungkinan masih akan terjadi di sejumlah negara. Situasi tersebut berpotensi adanya stagflasi dan disrupsi rantai pasok.

"Pemerintah perlu memitigasi suplai komoditas kita yang berasal dari luar negeri, dan perlu menyiapkan antisipasinya bila sewaktu waktu terjadi ketersendatan pasokan suplai komoditas utama kita didalam negeri," ujar Said.

Bila harga komoditas, khususnya minyak bumi dan gas terus naik pada 2022, menurut Said akan berkonsekuensi terhadap membesarnya kebutuhan subsidi energi. Ia menilai pemerintah harus segera melakukan reformasi subsidi energi, agar plafon subsidi energi pada tahun depan sebesar Rp134 triliun tidak membengkak.

"Lebih penting lagi agar subsidi energi lebih tepat sasaran. Saya berharap selambatnya pertengahan tahun depan reformasi subsidi energi telah dijalankan," kata Said.

Said menyampaikan, tantangan lain pada tahun depan yang perlu diantisipasi adalah beban bunga dan pokok utang yang berpotensi terus naik dan menjadi beban fiskal. Tren kenaikan Debt Service Ratio (DSR) terjadi secara konsisten sejak 2013. Pada 2020 DSR Indonesia mencapai 46,76 persen dan tahun ini kemungkinan mencapai 48 persen, sedangkan tahun depan diperkirakan menjadi 49 persen.

"Tekanan beban bunga dan pokok utang pemerintah ini harus dimitigasi dengan upaya penurunan tingkat bunga utang kita, keragamaan sumber pembiayaan serta dukungan investasi, dan meningkatkan tingkat pendapatan negara," ujar Said.

Adapun tantangan berikutnya yaitu meningkatnya angka kemiskinan akibat pandemi COVID-19 yang kemudian mengharuskan adanya rumusan strategi percepatan penurunan kemiskinan yang tepat. Ia memperkirakan tingkat kemiskinan pada akhir 2021 sebesar 10,25 persen.

"Mengentaskan kemiskinan rakyat adalah salah satu pesan utama konstitusi. Oleh sebab itu agenda menurunkan tingkat kemiskinan rakyat haruslah menjadi porsi besar dalam kinerja pemerintahan kita. Agenda menurunkan kemiskinan harus dipadukan dengan penurunan stunting, dan reformasi subsidi untuk orang miskin. Saya berharap pemerintah dengan daya maksimal bisa mencapai penurunan tingkat kemiskinan sesuai target APBN 2022 dikisaran 8,5 -9 persen," kata Said.

Sedangkan tantangan terakhir adalah makin meluasnya penggunaan mata uang kripto sebagai alternatif pembayaran digital dan investasi yang harus diantisipasi oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Saat ini pemerintah masih memberlakukan rupiah sebagai alat pembayaran yang paling sah berdasarkan Undang Undang Mata Uang.

Said menyampaikan, Bank Indonesia sebagai otoritas pembayaran harus mempersiapkan antisipasi bila uang kripto makin merongrong kewibawaan rupiah. Penegasan ini untuk memastikan bahwa rupiah defakto maupun dejure masih dijalankan.

"Setidaknya Bank Indonesia harus memastikan kesiapan rupiah digital sebagai alat bayar. OJK dan Bappebti wajib meningkatkan literasi keuangan masyarakat terhadap uang kripto, sehingga masyarakat tidak menjadi korban lanjutan paska tragedi pinjaman online menjamur," ujar Said.

Baca juga: NWGBR rilis Panduan Transisi LIBOR bagi pelaku pasar di Indonesia

Baca juga: BI catat modal asing keluar dari pasar keuangan Rp3,23 triliun

Baca juga: Menko Luhut soroti masih dangkalnya pendalaman pasar keuangan RI

Baca juga: OJK: Stabilitas sistem keuangan domestik masih terjaga baik

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021