Jakarta (ANTARA News) - Kalangan dunia usaha mengharapkan penguatan rupiah yang terjadi pekan ini hingga menembus level Rp9.300-an per dolar AS bisa bertahan lebih lama, agar mereka bisa memprediksi perencanaan bisnis yang lebih baik. "Penurunan drastis nilai tukar dolar terhadap rupiah -- saat ini -- baik, asal tidak langsung naik lagi, tapi bertahan terus," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Serat Sintetis Indonesia (Apsyfi), Kustardjono Prodjolalito, di Jakarta, Minggu. Dikatakannya bila fluktuasi nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS terlalu tajam, maka sulit bagi pelaku usaha memprediksi maupun membuat perencanaan bisnis ke depan. Diakuinya penguatan kurs rupiah bagi industri serat sintetis dalam negeri akan berdampak positif, karena biaya bahan baku yang sebagian masih diimpor menjadi lebih murah, sehingga daya saing produk meningkat baik di dalam maupun luar negeri. Ia memperkirakan dengan penurunan harga bahan baku, maka harga produk serat sintetis bisa turun, meskipun besaran penurunannya belum dihitung. "Kami juga harus menghitung biaya lainnya dalam rupiah, seperti buruh, listrik, dan lain-lain. Apakah penurunan biaya pembelian bahan baku sebanding dengan kenaikan biaya dalam rupiah yang meningkat di dalam negeri akibat kenaikan harga BBM (1 Oktober 2005) lalu," katanya. Menanggapi pertanyaan apakah dengan penguatan rupiah akan menurunkan daya saing produk serat sintetis Indonesia yang sebagian besar diekspor, Kustardjono mengatakan penguatan rupiah tidak akan menurunkan daya saing produk serat sintetis Indonesia, karena dengan penguatan rupiah juga diperkirakan biaya produksi turun, karena turunnya harga bahan baku impor. Dikatakannnya untuk produk tertentu Indonesia masih mengimpor bahan baku sekitar 80 persen, sedangkan untuk produk lainnya sudah bisa memenuhi kebutuhan bahan baku dari dalam negeri. Hal senada dikemukakan Ketua Federasi Gabungan Pengusaha Pengecoran Logam Indonesia (GAMA) A Safiun. Menurut dia penguatan rupiah tidak otomotis berdampak pada pengurangan daya saing produk Indonesia, khususnya di pasar ekspor. "Kalau hanya daya saing Indonesia hanya berdasarkan kurs saja, maka akan sangat rentan, mengingat nilai tukar rupiah sangat fluktuatif," ujarnya. Kendati pengaruhnya tidak besar bagi daya saing, lanjut dia, penguatan rupiah yang drastis dalam beberapa pekan ini juga dipertanyakan olehnya. "Apa yang menyebabkan rupiah menguat sangat cepat. Apakah ditopang oleh fundamental yang kuat, atau sekedar spekulasi saja. Pemerintah harus bisa menjelaskan hal ini," katanya. Ia khawatir penguatan rupiah lebih pada akibat kebijakan moneter uang ketat saja, sehingga dikhawatirkan hal itu justru akan mengabaikan kepentingan pertumbuhan sektor riil. "Akibat uang ketat, saya khawatir gerakan kegiatan ekonomi melambat dan dampaknya sektor riil semakin terpuruk. Karena itu harus ada kemauan pemerintah yang kuat untuk menjaga keamanan di dalam negeri, memberantas korupsi, dan mempermudah perijinan, yang bisa menjadi insentif bagi dunia usaha agar bisa bergerak di tengah ketatnya moneter," ujarnya. Lebih jauh ia mengatakan di tengah upaya pemerintah memperbaiki kebijakan makro saat ini, sektor riil juga jangan diabaikan. Pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan penguasaan teknologi harus dilakukan secara intensif agar sektor riil kelak bisa ditopang oleh fundamental yang kuat. "Dengan SDM yang bagus dan penetrasi teknologi yang semakin baik, maka sektor riil, khususnya di industri akan bisa berkembang dan bersaing tanpa harus bersandar pada fluktuasi kurs rupiah dalam persaingan di pasar domestik maupun internasional," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006