Surabaya (ANTARA News) - Cerita pendek di Indonesia saat ini dinilai tidak memiliki identitas yang jelas, karena orientasi penulis dalam menuangkan karyanya tidak ekspresif lagi.

Pengamat sastra dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Dr Tengsoe Tjahjono mengemukakan hal itu dalam diskusi sastra bertajuk `Perkembangan Cerita Pendek Indonesia` di kampus setempat, Jumat.

"Awalnya, cerpen Indonesia lebih banyak berupa sastra buku," katanya dalam diskusi yang diselenggarakan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) bersama "Sirikit School of Writing" itu.

Menurut dia, cerpenis di masa itu menuliskan karyanya tidak bertolak dari siapa pembaca dan siapa redaksi, namun lebih banyak ditentukan oleh ekspresi diri.

Di sela diskusi yang juga menampilkan Mashuri (sastrawan) dan dipandu Riadi Ngasiran (esais) tersebut juga diluncurkan buku cerpen yang ditulis alumni Unesa berjudul "Ndoro, Saya Ingin Bicara", dengan editor M Khoiri.

Di antara cerpen tersebut memuat sejumlah karya alumninya, antara lain Sirikit Syah, Yuli Setiyo Budi, Rukin Firda, dan sebagainya.

Tengsoe yang juga dikenal sebagai penyair itu mengatakan Balai Pustaka memiliki nota Rinkers yang berisi syarat-syarat penerbitan karya, namun nota itu hanya berisi syarat teknis, yakni bahasa.

"Dengan begitu, cerpenis memiliki ruang ekspresi yang lebih terbuka dan longgar, baik dalam menggarap tema maupun mengolah bahasa. Kesederhanaan dan kesahajaan tema dan bentuk ucap justru menunjukkan karakter pengucapan yang khas," katanya.

Ia menjelaskan buku kumpulan cerpen yang banyak terbit dewasa ini umumnya menerbitkan cerpen yang pernah diterbitkan media massa, baik koran maupun majalah.

"Artinya, walau sudah berupa buku, substansinya masih merupakan sastra koran," kata dalam diskusi yang dihadiri sejumlah sastrawan, seperti Akhudiat, Sabrot D Malioboro, Zoya Herawati, M Shoim Anwar, R Giryadi, Tjahjono Widarmanto, dan Widodo Basuki.

Tengsoe mengaku tidak tahu, apakah sastra koran itu wujud kemajuan atau kemunduran dibandingkan dengan sastra buku.

"Kalau berbicara konteks kemerdekaan sastrawan dalam berekspresi, saya memang merindukan lahirnya buku kumpulan cerpen yang murni dari usaha cerpenis menampilkan eksistensi kemurnian karya dan bukan ditentukan hegemoni media massa," katanya.

Terkait cerpenis yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Alumni Unesa itu, ia berpendapat cerpen yang lahir dari kalangan akademisi seharusnya bisa bebas dari kungkungan politik media, tidak tidak terjebak pada arus mainstream koran/majalah.

"Tapi kuatnya kuasa-media membuat kumpulan cerpen Alumni Unesa tidak menampakkan bentuk ucap yang unik dan berkarakter, baik dari segi pemilihan tema dan pemakaian bahasa," katanya.

Ia memberi contoh cerpen yang ditulis Sirikit Syah. "Suatu Hari di Finlandia" merupakan cerpen yang ditulis dengan gaya jurnalistik yang apik. Sirikit hadir sebagai reporter yang piawai melukiskan deskripsi alam dan sosio-budaya di Finlandia.

Ketika para ahli mengatakan dalam cerpen harus ada konflik, Sirikit membuktikan bahwa tanpa konflik pun nilai-nilai kemanusiaan bisa dihadirkan.

"Nah, hal-hal begini bisa muncul bila pengarang sungguh memiliki sensasi dan refleksi yang saling bertaut saat bertemu dengan fenomena dan peristiwa. Sirikit tidak terjebak pada mainstream umum yang berlaku," katanya.

Dalam diskusi itu, sasatrawan Mashuri yang merupakan penulis novel "Hubbu" (terbitan Gramedia, 2008) menyoroti perkembangan cerpen di Indonesia.

"Persoalan identitas dalam kancah multukulturisme memang menjadi sebuah kajian yang digandrungi saat ini seiring dengan semangat posmo. Apalagi arah studi sastra semakin membudaya, alias arahnya semakin menjadi kajian budaya," katanya.(*)
(T.E011/M008)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011