Jakarta (ANTARA News) - Salah seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di masa Presiden Soeharto, Prof. DR Fuad Hassan, mengaku lebih takut menghadapi cucunya, sehingga sudah tiga tahun ini berhenti total merokok. Menghadapi penyakit atau larangan dokter untuk berhenti merokok, bagi pemain biola itu tak pernah ditakutinya, tetapi begitu sikap cucu dan anak-anaknya yang tidak suka dirinya merokok langsung diturutinya. "Kalau saya pegang rokok, cucu saya langsung ambil dan membuangnya," katanya kepada ANTARA News, usai memberi orasi dalam Customer Gathering yang diadakan oleh Lembaga Indonesia Amerika (LIA) di Jakarta, Selasa. Fuad yang lahir pada 26 Juni 1929 di Semarang, Jawa Tengah, itu merasa tetap sehat, meskipun dia adalah perokok berat. Dan, ia memiliki kenangan tersendiri gara-gara hobi lamanya itu. "Ketika perjalanan santai dengan mantan Presiden Soeharto menggunakan kapal laut, banyak menteri yang tidak berani merokok, meskipun mereka ingin merokok. Tiba-tiba, Pak Harto panggil saya, Fuad..., kalau kamu mau merokok, merokok saja. Saya langsung ambil rokok dan kusulut dengan korek api," katanya sambil memperagakan kesiapannya dalam menyulut api rokok. Ia menimpali, "Kejadian itu sampai saat ini masih saya ingat, karena kapal laut yang kita tumpangi itu di bawahnya ada minyak, namun karena yang menyuruh merokok Pak Harto, saya merokok enak saja," kata Fuad, yang pernah tinggal cukup lama di kota Solo. Sejak Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), anak kedua dari empat bersaudara itu hidup di Solo, dan ia mengaku terbilang cukup nakal lantaran suka membolos sekolah untuk main bola. Oleh raga rakyat itu menjadi kesenangannya sampai saat ini. "Saya saat ini tentu tak dapat lagi bermain sepak bola karena usia, tetapi urusan nonton masih menjadi hobi saya," katanya. Dalam orasi yang dilaksanakan lembaga bahasa LIA itu, Fuad mengatakan, saat ini dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berwawasan global dalam menghadapi tantangan dunia usaha yang semakin berat. Selain ilmu pengetahuan dan teknologi, Ketua Pembina LIA itu menilai, penguasaan bahasa Ingris juga menjadi tolok-ukur untuk dapat memiliki kemampuan bersaing di tingkat internasional. "Sekarang tantangan kita adalah bagaimana menjadi pesaing yang tangguh baik dalam berbisnis maupun dalam melakukan diplomasi di tingkat internasional. Bahasa Inggris adalah menjadi kunci yang tidak dapat ditawar lagi," katanya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006