Arsip foto - Presiden China Xi Jinping mengangkat gelasnya dan bersulang begitu selesai menyampaikan pidato setelah menyambut para pemimpin yang menghadiri Forum Sabuk dan Jalan di Balai Agung Rakyat di Beijing, China, 26 April 2019. ANTARA/Nicolas Asfour/Pool via REUTERS/File Photo/tm (REUTERS/POOL)

Tidak ambigu

China tak mau mengesankan diri ikut campur dalam urusan domestik negara lain, bahkan terlihat masa bodoh apakah mereka berhubungan dengan penguasa zalim atau tidak.

Ini karena bagi China, asalkan negara itu menjanjikan insentif ekonomi besar dan bersedia menerima syarat-syarat ekonominya yang kerap menjadi titik awal bagi dominasi China terhadap suatu wilayah, maka tak masalah negara itu zalim atau tidak kepada rakyatnya.

Di sisi lain, dari waktu ke waktu, China menjadi kecanduan intervensi negara.

Setiap kali ada masalah dalam masyarakat China termasuk dalam kaitannya dengan sistem di luar negara itu, pemerintah China segera turun tangan, di antaranya ketika menggunakan kebijakan fiskal ekstrem guna mencegah krisis keuangan global 2008 menyebar ke negara itu.

Kecanduan seperti itu bisa berbahaya, khususnya bagi negara-negara lain termasuk mereka yang merangkul Konsensus Beijing.

Kini banyak negara, tak hanya tetangga China, yang mengkhawatirkan cara China dalam memproyeksikan kekuatannya di luar negeri, termasuk sengketa dagang yang melibatkan perusahaan-perusahaannya di luar China.

Ini bisa merusak citra China karena salah besar jika beranggapan kekhawatiran yang lain itu terpisah dari strategi pembangunan China.

Tapi China sendiri sebenarnya mempraktikkan apa yang sudah dilakukan Barat, yakni membantu negara lain agar bisa dikendalikan demi kepentingan nasionalnya.

Kasus Angola dan Ghana di Afrika seperti ditulis seorang pakar dalam tulisan berjudul "The Beijing Consensus and African Autonomy" yang dipublikasikan Yale Review of International Studies pada Agustus 2020, adalah contohnya.

Dalam makalah itu, Angola dan Ghana menyiapkan jalan berlainan dalam hubungannya dengan investasi China.

Angola yang baru bertransformasi dari otoriterian dan belum terbiasa mengelola perbedaan pendapat, menelan hampir semua syarat China termasuk membiarkan pekerja segala tingkatan China mengerjakan proyek-proyek pembangunan yang didanai China di negara itu.

Sebaliknya, Ghana yang lebih demokratis dan terbiasa mengelola perbedaan pendapat sehingga kebijakan publik yang dibuat sudah melalui proses kritik yang matang, terlihat lebih independen dalam memperlakukan syarat-syarat investasi dan bantuan China. Tak seperti Angola, Ghana tak mau semuanya dikerjakan China.

Ada banyak negara seperti Angola, sebaliknya juga ada banyak negara seperti Ghana.

China sendiri pada dasarnya melakukan hal yang sudah dilakukan Barat. Bedanya, China lebih jujur dalam mengejar kepentingan ekonominya sehingga tidak seambigu Barat.

China juga bakal jalan terus dengan modelnya, kendati citra bisa menjadi taruhan. Namun sengketa Laut China Selatan dan sengketa-sengketa internasional lainnya menunjukkan China sepertinya tidak peduli citra.

China agaknya lebih takut kepada 1,3 miliar penduduknya berubah kritis, ketimbang kepada kritik asing.

Tapi bagaimana jika suatu saat nanti opini umum dunia kepada China tak lagi positif? Ini bisa sangat serius bagi China.

Baca juga: Luhut: China kekuatan dunia yang tidak bisa diabaikan
Baca juga: Konsensus Beijing Kian Diterima
 

Copyright © ANTARA 2022