Jakarta, 18/6 (ANTARA) - Menjawab isu yang berkembang, semalam (17/6), Dirjen KP3K dalam jumpa pers di restauran Jakarta menegaskan bahwa pihaknya menghormati hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal HP3 dalam UU No.27/2007. Namun demikian, hasil ini  tidak akan membuat pembangunan di wilayah pesisir berhenti. Pasalnya, hingga saat ini belum ada Pemerintah Daerah yang menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) terkait dengan HP3. "Tidak benar kalau ada Pemerintah Daerah yang telah menerbitkan Perda HP3 sebagai salah satu prasyarat pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana disebutkan penggugat", jelas Sudirman.

     Menjawab hasil MK, Sudirman menjelaskan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen KP3K dalam jangka panjang akan segera mengajukan revisi UU tersebut, utamanya terkait dengan HP3 yang diawali dengan penyusunan naskah akademis. Sedangkan untuk jangka pendek, pihaknya akan mengatur proses perizinan dalam pengelolaan wilayah pesisir sebagaimana sebelumnya disesuaikan dengan pemanfaatan wilayah tersebut. "Apabila masyarakat akan menggunakan wilayah pesisir untuk pelabuhan maka izin disampaikan ke Kementerian Perhubungan. Bila untuk pariwisata bahari maka ke Kementerian Pariwisata", ucapnya.

     Penyusunan UU No.27/2007 dipandang banyak pihak dalam negeri dan luar negeri sebagai sebuah produk legislasi yang paling komperhensif. Regulasi ini disusun selama hampir 7 (tujuh) tahun dengan melaksanakan ratusan diskusi publik dengan beragam lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, Kementerian Kelautan dan Perikanan tetap menghormati dan melaksanakan hasil keputusan MK.

     Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang perlu dijaga kelestariannya dan dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Lebih dari itu, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang tinggi dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa. Oleh karena itu Pemerintah cq. Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki tanggung jawab melaksanakan pengelolaan berkelanjutan dan berwawasan global dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat serta tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional.

     Kehadiran Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 (UU No.27/2007) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) dimaksudkan untuk menjawab mandat Pasal 33 ayat (3) UUD’45. Lebih lanjut diharapkan bahwa Undang-Undang ini dapat mendukung perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (4) UUD’45 dimaksud.

     Pada tanggal 18 Januari 2010, telah diajukan permohonan pengujian UU No.27/2007 terhadap UUD’45 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang tercatat sebagai Perkara Nomor 3/PUU-VIII/2010. Pada tanggal 16 Juni 2011, dengan dihadiri oleh 7 (tujuh) Hakim Konstitusi, MK menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa pasal-pasal pada UU No.27/2007 tentang PWP3K terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) bertentangan dengan UUD’45 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Menurut MK, pemberian HP-3 akan melanggar prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD’45.

     Di lain pihak menurut pertimbangan MK, untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Melalui mekanisme perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta bukan merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil tetap dapat dikelola secara terintegrasi dan membangun sinergi berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan serta memberikan kepastian hukum. Di samping itu, melalui mekanisme perizinan, pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil tidak meninggalkan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat yang sudah sejak dahulu kala melakukan pengelolaan perairan pesisir secara arif dan melestarikannya.

     Dengan terbitnya putusan MK ini, implementasi pengelolaan terhadap perairan pesisir dan pulau-pulau kecil akan diformulasikan kembali, agar format baru tersebut lebih memberikan perlindungan terhadap masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagai tindak lanjut terhadap Putusan MK tersebut dimungkinkan dapat lebih membuka ruang konsultasi publik terhadap rencana perubahan UU No.27/2007 dalam rangka menjaring aspirasi masyarakat untuk menerapkan kebijakan yang lebih tepat dalam melaksanakan tugas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya dalam perizinan pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.

     Untuk informasi lebih lanjut silakan menghubungi Dr. Yulistyo Mudho, M.Sc, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (HP. 0811836967)

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2011