Magelang (ANTARA News) - Sejumlah anak korban bencana Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta pentas teater di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu malam.

Pentas teater dengan tema "Merapi Masih Tersenyum" tersebut dilakonkan oleh 30 anak yang menjadi korban bencana erupsi maupun bencana banjir lahar dingin Merapi.

Mereka antara lain dari Dusun Sirahan, Salakan, Jetis, Ngemplak, Ngampel, Wonolelo, dan Keron.

Pentas teater dengan sutradara Ismanto tersebut digelar di panggung terbuka dengan suasana alami. Dekorasi ditata dengan sederhana dengan dipajang beberapa lukisan dari anak-anak.

Pementasan teater dengan durasi sekitar 30 menit tersebut berlangsung cukup menarik, meskipun para pelaku bukan pemain teater dan baru berlatih enam kali, mereka cukup menjiwai peran mereka.

Cerita dalam pementasan tersebut diawali dengan kegiatan anak-anak di sekitar Merapi, antara lain ada yang bermain "play station", internet, bertelepon, dan menintin televisi.

Di tengah kesibukan anak-anak tersebut, tiba-tiba terdengar suara ledakan dari puncak Merapi dan mereka pun kalang kabut untuk menyelamatkan diri. Bantuan pun datang, termasuk bantuan pakaian pantas pakai yang kemudian menjadi rebutan mereka karena barang terbatas.

Bencana Merapi tidak hanya pada erupsi saja, tetapi mereka juga merasakan bencana banjir lahar dingin yang telah menghancurkan sejumlah jembatan dan ruas jalan.

Menjelang akhir cerita para pelaku teater tersebut satu per satu mengucapkan kata-kata mutiara untuk memotivasi mereka mewujudkan cita-citanya.

Pada penutupan pentas mereka melantumkan lagu berkebun, sebagai semangat untuk memulihkan perekonomian di sekitar lereng Merapi.

Budayawan Arswendo Atmowiloto selaku penggagas kegiatan tersebut mengatakan, anak-anak bermain dengan senang hati dan mereka bermain bagus, meskipun hanya berlatih beberapa kali.

Ia mengatakan, kegiatan ini sebagai jalan budaya bagi korban Merapi, yakni pendekatan melalui budaya dengan ciri adanya dialog, berkarya nyata, menemukan kebebasan serta tidak menganggap pendekatan yang dilakukan menjadi satu-satunya kebenaran.

"Ke depan kami mempunyai obsesi untuk menyatukan pentas dari anak-anak korban bencana alam, antara lain dari Merapi, Sidoarjo, dan Nias. Mereka bisa bermain sendiri-sendiri atau bisa juga berkolaborasi," katanya.

Ia mengatakan, anak-anak jangan sampai putus asa, mereka harus bangkit dan menjadi orang-orang terbaik.(*)

(U.H018/Z002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011