... jadilah sosok yang inklusif, terbuka, dialogis, moderat, toleran, arif –bukan kok malah eksklusif, menutup pintu dialog, tak suka toleran, ekstrim, fanatik-buta, dan radikal “tanpa sebab”
Jakarta (ANTARA News) - Saya sedang bertualang sekarang. Saya menulis kolom ini dari Kazilay, pusat kesibukan Ankara, Turki. Saya hendak mencari jejak Mr. N. Karena saya bukan politisi, cuma temannya politisi saja, maka saya buka siapa dan dimana Mr N. 

Tapi bolehlah tebak-tebakan sedikit. Orangnya berjubah dan berjanggut. Suka naik keledai, dan topinya sebesar buah waluh. Ia sufi lucu yang legendaris. Bukan Jalaluddin Rumi tentunya. Kalau itu sih Mr. J –tapi bukan Jalaluddin Kristiadi lho ya!

Ini Mr. N, tapi tempatnya bersemayam, bukan di Singapura atau Vietnam. Tapi di Turki, di suatu tempat di Anatolia. Namanya Aksehir, tak jauh dari makamnya sufi serius, Jalaluddin Rumi. Walaupun demikian klaim atas kuburannya juga ada di berbagai negera di Asia Tengah.

Anda pasti tahu sejak awal siapa Mr N yang saya maksud. Orang Turki menyebutnya Nasrettin Noca. Nasruddin Hoja. Nah itu dia. Bukan Nasruddin yang lain. Kalau Nasruddin yang lain, bukan urusan saya.

Dalam perbincangan makan siang dengan mantan tentara bertitel kolonel  di Ankara beberapa hari lalu, saya mengatakan soal adanya tiga orang aneh di Turki yang saya kenal. Oh, siapa itu, kata Pak Kolonel Purnawirawan itu tak sabar. Yaitu, Ataturk, Jalaluuddin Rumi, dan Nasruddin Hoja. Kontan saja semua langsung ketawa, mendengar nama yang saya sebut terakhir itu!

Sang Kolonel sebelumnya mengatakan bahwa rakyat Turki itu sesungguhnya sangat religius. Memang Turki negara sekuler, katanya, tetapi, bagaimana mungkin orang Turki tidak religius, manakala pada masa lalu pernah menjadi titik pusat Khalifah Turki Usmani.

Selanjutnya, ia juga mengatakan, orang Turki itu juga sesungguhnya sangat menghormati tentara. Bagaimana mau tidak hormat, kalau tentara punya kontribusi sejarah penting bagi hadirnya Republik Turki, merebut kembali tanah-tanah yang dikuasia bangsa lain?

Jadi, orang Turki itu religius dan hormat pada tentara. Tapi, dengan memasukkan dua nama selain Ataturk, maka saya sesungguhnya sedang menambahkan pula bahwa orang Turki itu estetis-puitis dan humoris. Bagaimana tidak estetis-puitis, kalau kita merujuk pada tari-tarian Jalaluddin Rumi? Bagaimana tidak humoris, kalau kita merujuk pada Nasruddin Hoja?

Saya kira batas antara yang serius dan yang lucu itu tipis. Yang serius itu lucu. Yang lucu itu serius. Sungguh!

***
Banyak patung Ataturk di Ankara, juga Istanbul, dan di mana-mana di Turki. Poster, mata uang, foto ditempelan kulkas, dan sebagainya serba Ataturk. Walaupun mata uang Turki sekarang juga sudah memuat gambar pahlawan nasional yang lain. Walaupun juga, foto-foto Recep Tayip Erdogan, Pak Perdana Menteri, juga terpampang di mana-mana pula.

Di salah satu sudut Ankara, saya melihat patung orang lucu yang sangat dihormati itu, Nasruddin Hoja. Ia tak sedang menaiki keledai, tetapi, lucunya, yang ia naiki itu burung  unta. Tapi setelah kita lihat bagian belakangnya, ternyata sang sufi sedang naik singa. Dan di atas kepala singa itu, ada kepala manusia.

Saya tidak tahu persis apa pesan si pembuat patungnya. Tapi, mungkin, saya kira pesannya adalah, jangan melihat segala sesuatu itu hanya dari satu dimensi saja. Jangan jadi manusia, apa yang oleh Herbert Mercuse disebutnya sebagai one dimensional man.

Jadilah manusia yang arif, bijak, teliti, dan multiperspektif. Kalau dalam bahasanya Cak Nur almarhum, jadilah sosok yang inklusif, terbuka, dialogis, moderat, toleran, arif –bukan kok malah eksklusif, menutup pintu dialog, tak suka toleran, ekstrim, fanatik-buta, dan radikal “tanpa sebab”.

 ***
Dan setelah melalui perjuangan yang panjang, sampailah petualangan saya itu ke petilasan Mr. N di Aksehir. Makamnya biasa saja. Makamnya bercungkup dengan cat hijau di atasnya. Ia ada di sebuah taman, lengkap dengan patung sang sufi.

Persis yang dikisahkan teman saya yang sudah berkunjung ke sana  sebelumnya, tak lain Rohman Budijanto, wartawan Jawa Pos. Patung sufi lucu itu menghadap ke arah kuburannya. Di pedestal patung Hoja itu ada relief.  Yang setelah simak kisahnya (yang tentu saja lucu itu), pesan jelas : kita tidak boleh sombong dan mentang-mentang!

Nasruddin Hoja tampak di tengah acara jamuan makan di meja bundar bersama banyak orang. Nasruddin datang ke undangan itu, tapi tak dianggap. Nasruddin menyadarinya, gara-gara ia hanya berpakaian biasa. Lalu, dia pulang dan berganti jubah yang bagus, dan datang lagi ke pesta itu. Kini banyak orang menyambutnya dengan ramah.

Dasar Nasruddin, dia lalu memasukkan banyak makanan ke saku jubahnya. Ayo jubah, makanlah! Orang-orang pun heran dan bertanya kepadanya. Tadi aku ke sini dengan pakaian biasa tak ada yang mempersilakan makan, katanya. Maka, kini yang berhak makan adalah jubahku!

***
Mr. N dalam relief itu mengkritik kita semua yang suka terjebak pada hal-hal yang bersifat permukaan. Manusia yang sering berlebih-lebihan (kerakusannya). Hanya dengan jubah saja, Mr. N dapat membuat pesan karikatural yang jelas –tentu bagi yang pandai mencari hikmah.

O betapa, engkau wahai manusia, kemaruk!

Jauh-jauh ke sana, tertuntaskan sudah hasrat saya, mencari jejak Mr. N. Kekuasaan, formalitas, bahkan dinamika hidup kita itu, lucu! Lucu bukan berarti tidak serius. Kalau tidak serius, mengapa pelawak Gogon yang ketika di penjara akibat kasus narkoba itu, nangis. Kalau hidup ini serius terus, mana ada pelawak yang menangis –karena pelawak yang menangis itu, lucu.

Ketika pelawak Bagyo meninggal, almarhum Umar Khayam menulis kolom “Hidup Bagyo!”. Dan diam-diam, di depan petilasannya saya bergumam, hidup Nasruddin, hidup Mr. N!
(***)


*M Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011