Seharusnya pemerintah tidak masuk ke wilayah agama, karena akan lebih terukur jika menggunakan kebijakan atau regulasi.
Semarang (ANTARA News) - Ekonom Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Titik Sumiati, berpendapat bahwa masalah bahan bakar minyak (BBM) bukan ranah Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena hal ini adalah masalah ekonomi murni.

"Fatwa haram MUI tidak cocok sama sekali. Ini persoalan ekonomi murni. Jadi dengan adanya fatwa tersebut, seolah-olah masyarakat ditakut-takuti. Seharusnya MUI cukup menangani hal-hal yang berurusan dengan religi," kata Titik Sumiati, di Semarang, Kamis.

Titik mengatakan upaya yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah dengan melihat terlebih dahulu patokan harga dasar secara obyektif.

"Pemerintah harus melakukan penghitungan harga BBM secara obyektif dan bukan penghitungan secara politis," katanya.

Pendapat senada juga disampaikan ekonom dari Universitas Diponegoro Semarang, FX. Sugiyanto yang berpendapat fatwa haram orang kaya membeli BBM bersubdisi dari MUI tidak akan efektif.

"Seharusnya pemerintah tidak masuk ke wilayah agama, karena akan lebih terukur jika menggunakan kebijakan atau regulasi," kata FX. Sugiyanto.

Menurutnya, pengeluaran fatwa tersebut akan terbentur dari keyakinan pribadi masing-masing dan perilaku seseorang. Oleh karena itu, upaya yang lebih tepat adalah dengan kebijakan.

Penerapan pajak untuk mobil tertentu (milik masyarakat mampu - red), tambah FX. Sugiyanto, justru akan lebih efektif meskipun akan memberikan konsekuensi pada dunia industri.

Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan Fatwa No 22 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan tertanggal 26 Mei 2011. Proses pertambangan harus sesuai aturan dan untuk kesejahteraan rakyat.

MUI mengeluarkan fatwa masyarakat golongan mampu yang memakai premium merupakan perbuatan dosa, karena mengambil hak orang yang tidak mampu.

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011