Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens berpendapat, Presiden Yudhoyono segera mengevaluasi atas pelanggaran Bapepam-LK terhadap UU No 32 tahun 2002 tentang penyiaran terkait akuisisi Indosiar oleh PT Elang Mahkota Teknologi (EMTK).

Kepada pers di Jakarta, Jumat, Boni Hargens mengemukakan bahwa pelanggaran peraturan perundang-undangan semakin marak terjadi akibat tidak adanya kontrol dari negara. "Akibatnya para pemodal pun menjadi liar dan UU ditabrak semaunya," ujarnya.

Terkait dengan hal itu, Boni mendesak Presiden Yudhoyono agar mengoreksi kinerja Bapepam-LK yang dinilai melanggar UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, ketika mengeluarkan izin akuisisi Indosiar oleh PT Elang Mahkota Teknologi (EMTK) yang juga telah memiliki SCTV dan O Channel.

Selain itu, Kementerian tertentu juga perlu dimintai pertanggungjawabannya karena logika dan dasar hukum yang dipakai untuk membenarkan PT EMTK TBK melakukan monopoli frekuensi tidak jelas.

Sementara itu secara terpisah Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Tjipta Lesmana mengatakan bahwa UU Penyiaran sudah sangat jelas mengatur sistem penyiaran di Indonesia.

Tetapi karena ada kekuatan uang yang bermain, semuanya jadi berantakan. "Ini negara menuju sistem ekonomi liberal yang kapitalistik," katanya.

Padahal, dia menambahkan, semua persoalan bangsa ini bisa diselesaikan kalau ada kemauan politik pemerintah. "Kalau sampai Presiden tidak bisa berbuat apa-apa, itu karena sistem tadi dan adanya kekuatan uang yang maha dahsyat," katanya.

Mengenai kewenangan KPI yang dipangkas, kata Tjipta, hal itu karena anggota DPR juga ikut bermain setelah mereka dipengaruhi kekuatan modal.

Anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya, mengatakan, nafas UU No 32 Tahun 2002 adalah desentralisasi. Tetapi yang terjadi saat ini adalah UU itu terus dilanggar oleh beberapa pemilik televisi. "Kita pernah memanggil mereka (pemilik televisi) ke Komisi I DPR, tetapi mereka berlindung di balik UU Penanaman Modal," katanya.

Padahal jika terjadi pelanggaran UU Penyiaran maka pemerintah harus mencabut izin atau frekuensi yang adalah milik publik. Dalam Pasal 35 UU Penyiaran disebutkan bahwa izin penyelenggaraan penyiaran dicabut jika dipindahtangankan ke pihak lain. "UU Penyiaran jelas menegaskan itu. Pemerintah harus mencabut izin penyiaran kalau dilanggar," katanya.

Selain mencabut izin penyiaran, UU Penyiaran juga mengamanatkan sanksi pidana kepada mereka yang melakukan pelanggaran. Dalam Pasal 58 Ayat 1 dikatakan, pihak yang melakukan pemusatan kepemilikan frekuensi dikenai pidana penjara dua tahun dan atau denda paling banyak Rp 5 miliar.
(T.J004/N005) 

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011