Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI Hikmahanto Juwana mengatakan, ada dua opsi untuk menghadirkan tersangka kasus dengan dugaan penerimaan suap atas proyek pembangunan wisma atlit, Nazaruddin, dari Singapura ke Indonesia, yakni melalui mekanisme ekstradisi atau deportasi.

"Untuk ekstradisi ada dua cara yang dapat dilakukan oleh KPK. Pertama adalah meminta Polri agar Nazaruddin di-`red notice`-kan . Kedua adalah KPK meminta Menkumham untuk melayangkan surat resmi permohonan ekstradisi atas Nazaruddin ke pemerintah Singapura. Permintaan Menkumham ini akan difasilitasi oleh Kemlu dan Perwakilan di Singapura," kata Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (30/6) menetapkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin sebagai tersangka dengan dugaan penerimaan suap atas proyek pembangunan wisma atlet di Jakabaring, Palembang, Sumatra Selatan.

Hikmahanto mengatakan dengan adanya permintaan Presiden kepada pemerintah Singapura diharapkan proses ekstradisi tidak akan berbelit meski hingga sekarang perjanjian ekstradisi Singapura Indonesia belum ada.

Namun, kata Hikmahanto, sebelum ekstradisi dilakukan maka perlu diketahui alamat jelas dan akurat dari Nazaruddin di Singapura.

"Ini pun ada dua cara. Pertama memanfaatkan ASEAN Mutual Legal Assistance atau Bantuan Hukum Timbal Balik. Berdasarkan perjanjian ASEAN MLA maka Indonesia dapat meminta otoritas Singapura untuk mencari lokasi akurat dari Nazaruddin," katanya.

Namun, halangan terbesar adalah polisi Singapura bisa jadi tidak mau membuang terlalu banyak energi dan uang atas permintaan ini mengingat Nazaruddin bukanlah pelaku kejahatan yang dibutuhkan oleh otoritas Singapura, kata Hikmahanto.

Oleh karena itu, kata Hikmahanto, KPK dapat menyewa detektif swasta yang tidak terikat dengan yurisdiksi dan birokrasi untuk mendapatkan informasi di mana Nazaruddin bertempat tinggal. Informasi ini yang disampaikan kepada KPK dan diteruskan ke Kemenkumham untuk diteruskan ke Pemerintah dan otoritas Singapura.

Sementara pemulangan melalui deportasi dilakukan dengan cara KPK meminta Kemenkumham melalui Ditjen Imigrasi melakukan penarikan atas paspor Nazaruddin.

Dengan demikian Nazaruddin akan tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah dan menurut hukum Singapura dianggap pelanggaran ketentuan keimigrasian setempat. Akibatnya, Nazaruddin akan dideportasi (dipulangkan) ke Indonesia. Bila ini dilakukan maka tidak perlu birokrasi ekstradisi dilalui.

"Seharusnya ketika KPK telah menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka maka saat itu juga dilakukan permintaan untuk penarikan paspor Nazaruddin ke Ditjen Imigrasi. Ini perlu dilakukan agar ruang gerak Nazaruddin terbatas di Singapura dan tidak dapat keluar dari Singapura," kata Hikmahanto.(*)
(T.U002/H-KWR)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011