Jakarta (ANTARA News) - Rapat kerja antara Menkum dan HAM dengan Komisi III DPR RI, di Jakarta, Selasa malam menyetujui Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Bantuan Timbal Balik masalah Pidana untuk disahkan melalui rapat paripurna Dewan. Persetujuan atas hasil pembahasan Panitia Kerja (Panja) DPR atas RUU tersebut disampaikan oleh juru bicara masing-masing fraksi yang menyampaikan pendapat akhirnya pada rapat kerja dengan agenda pengambilan keputusan itu. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III, Akil Mucthar, dan dihadiri oleh Menkum dan HAM Hamid Awaludin mewakili pemerintah. Meski akhirnya menyetujui naskah yang telah dibahas oleh Panja tersebut, pembahasan RUU tersebut sempat diinterupsi oleh anggota dewan antara lain mengenai pencantuman istilah Menteri dalam pasal 1 yang disebutkan bahwa yang dimaksud Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di Bidang Hukum dan HAM. Pertanyaan yang diajukan oleh Patrialis Akbar dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) adalah mengapa dalam RUU tersebut disebut dengan jelas bahwa yang dimaksud Menteri disitu adalah Menteri Hukum dan HAM, bagaimana jika suatu saat nanti ada perubahan nama misalnya yang pernah terjadi selama ini pernah disebut Menteri Perundang-Undangan, dsb. Pertanyaan kedua diajukan oleh Lukman Hakim dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPP) yang mempertanyakan mengapa harus ada pencatuman ".... Menteri yang bertanggung jawab di Bidang Hukum dan HAM...", kenapa tidak disebut saja "....Menteri yang membidangi masalah Hukum dan HAM..." agar tidak rancu. Namun setelah mendapat penjelasan akhirnya semua fraksi yang hadir pada rapat menyetujui naskah yang telah dihasilkan oleh Panitia Kerja untuk selanjutnya dibawa ke pembahasan tingkat II yaitu pengesahan di sidang paripurna Dewan. RUU Bantuan Timbal Balik masalah Pidana yang dibahas dalam Raker Komisi III DPR dengan Menkum dan HAM itu antara lain mengatur mengenai siapa yang berwenang mengajukan permohonan bantuan kepada asing dalam masalah pidana, serta bantuan apa yang bisa dimintakan. Dalam RUU tersebut dijelaskan bahwa yang dapat mengajukan permintaan bantuan adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum. Dalam pasal 9 ayat (1) RUU tersebut dinyatakan bahwa Menteri dapat mengajukan permintaan bantuan kepada negara asing secara langsung atau melalui saluran diplomatik. Ayat (2) disebutkan bahwa permintaan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh Menteri berdasarkan permohonan dari Kapolri atau Jaksa Agung. Ayat (3) nya menyebutkan bahwa Dalam hal tindak pidana korupsi, permohonan bantuan kepada Menteri selain Kapolri dan Jaksa Agung juga dapat diajukan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 3 ayat (1) RUU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bantuan timbal balik dalam masalah pidana merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan di pengadilan. Sedangkan bantuan yang dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) RUU tersebut dapat berupa mengidentifikasi dan mencari orang, mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya, menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya, mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006