Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih belum menentukan jadwal pertemuannya dengan Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao, yang sedianya akan berlangsung pada 28 Januari 2006, namun akhirnya ditunda. Juru Bicara Kepresidenan, Dino Patti Djalal kepada wartawan di Jakarta, Kamis, mengatakan jadwal selanjutnya belum ditetapkan dan menyatakan bahwa penundaan itu dikarenakan Presiden Yudhoyono masih harus berkonsentrasi ke masalah-masalah dalam negeri. Dino menegaskan penundaan tersebut tidak terkait dengan laporan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR) yang disampaikan Xanana kepada Sekjen PBB. Laporan itu sendiri disebut Indonesia sebagai "tidak menggembirakan", karena dianggap mengorek luka lama kedua negara pasca jajak pendapat di Timtim tahun 1999, yang penyelesaiannya disepakati Dili dan Jakarta dilakukan melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang pembentukannya dideklarasikan oleh Presiden Yudhoyono dan Presiden Xanana di Jakarta pada 9 Maret 2005. "Tentang laporan, kita `unhappy` karena tuduhan yang disampaikan tidak benar, kurang benar, dipertanyakan. Kita juga tidak mengerti kenapa harus membuka kembali luka masa lalu," kata Dino. Namun Jubir Kepresidenan itu cepat-cepat menegaskan kembali bahwa penundaan pertemuan Yudhoyono-Xanana itu tidak terkait laporan yang disampaikan Xanana. Laporan CAVR setebal 2.500 halaman yang disampaikan Xanana kepada Sekjen PBB pada 20 Januari itu antara lain menyebutkan bahwa telah terjadi pembantaian terhadap 183.000 warga Timtim dalam kurun 24 tahun, yakni ketika Timtim masih bergabung dengan Indonesia (1974-1999). Dokumen itu juga mengatakan bahwa militer Indonesia berusaha membasmi warga Timtim dengan meracuni makanan dan air menggunakan napalm dan bahan kimia lainnya. Polisi dan militer Indonesia, menurut laporan itu, bertanggung jawab atas terjadinya 70 persen dari 18.600 pembunuhan atau penghilangan orang sepanjang 1975-1999. Dalam rekomendasi CAVR disebutkan mengenai perlunya memperbarui kontrak hakim-hakim internasional untuk Special Panels for Serious Crimes, sehingga bisa mengadili semua pelaku kejahatan antara tahun 1975 dan 1999. Keberatan Xanana Namun Xanana menyatakan keberatan karena rekomendasi tersebut tidak memperhitungkan kemungkinan kerusuhan politik dan sosial yang bakal dengan mudah terjadi jika semua kasus sejak 1975 dibawa ke pengadilan. "Dalam upaya mengingatkan rakyat kami untuk menghindari bahaya, saya telah menyatakan bahwa jika kita memberikan kesaksian mengenai orang lain atau kita sendiri di suatu pengadilan, maka anarki dan kerusuhan politik mungkin pecah," tambahnya. Ia mengatakan bahwa ada perbedaan posisi antara suatu komisi independen atau LSM, dengan Pemerintahan. LSM atau komisi independen, seperti halnya CAVR, tidak wajib bertanggung jawab atas akibat negatif dari rekomendasi mereka. Xanana juga mengingatkan bahwa Timor Leste dan Indonesia sudah membentuk Komisi Kebenaran dan Persahatan (KKP) dengan semangat memandang hari depan. KKP tersebut sudah seharusnya mendapat dukungan penuh dari PBB dan komunitas internasional. CAVR yang dibentuk di Timor Leste tahun 2001, telah menyelesaikan laporan kerjanya yang berisi mengenai sejumlah pelanggaraan HAM pada periode 1974 hingga 1999. Xanana sendiri sebelumnya mengatakan bahwa ia tidak ikut campur soal isi dari laporan CAVR itu. Namun laporan tersebut perlu disampaikan kepada PBB untuk memenuhi aturan soal pendirian komisi itu. (*)

Copyright © ANTARA 2006