Surabaya (ANTARA News) - Pungutan sekolah maupun perguruan tinggi agaknya sudah sangat keterlaluan, karena tidak hanya membebani, tapi sudah mencekik para orang tua.

Untuk sekolah, pungutan berkisar antara Rp3 juta hingga RP40 juta, sedangkan di kalangan perguruan tinggi sudah berkisar Rp15 juta sampai Rp250 juta.

Bahkan, Mendiknas Mohammad Nuh sempat menerima laporan adanya sumbangan sukarela yang dipungut sekolah (RSBI) kepada orang tua murid hingga puluhan juta rupiah.

"Laporan yang saya terima ada sekolah yang menarik sumbangan berkisar Rp70 juta sampai Rp80 juta," kata Mendiknas dalam sebuah acara di Jakarta (22/8/2010).

Dalam praktiknya, pungutan pada setiap tahun ajaran baru itu menggunakan aneka istilah, diantaranya uang pembangunan, uang bangku, uang seragam, uang buku, uang laboratorium (uang praktik), atau uang ekstra-kurikurel).

Ironisnya, hal itu justru terjadi saat anggaran pendidikan sekitar 20 persen dari APBN dan pendidikan dasar dan menengah juga sudah diberi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Namun, pungutan di kalangan sekolah swasta agaknya sulit dihindari, seperti SD "Khadijah" Surabaya hingga kini masih menarik pungutan kepada orangtua siswa untuk memenuhi kebutuhan sekolah, namun sekolah itu mengutamakan transparansi pungutan.

"Bagi sekolah negeri, BOS itu mungkin cukup, tapi BOS itu tidak cukup bagi sekolah swasta seperti kami," kata Kepala SD `Khadijah` Wonokromo, Surabaya, Drs H Abdullah Sani MPd.

Disela menjadi narasumber pelatihan untuk guru (17/7/2011), ia menjelaskan BOS bagi sekolah swasta tidak cukup, karena BOS belum "mencakup" gaji guru dan pemenuhan standar nasional untuk kualitas.

"Kalau sekolah negeri, BOS itu sudah cukup, karena gurunya sudah digaji pemerintah. Pemerintah memang memberikan TPP (tunjangan profesi pendidikan) untuk guru, tapi TPP itu tidak memadai dan tidak semua guru menerima TPP," katanya.

Namun, katanya, pungutan di sekolah swasta pun tetap harus memenuhi dua hal mendasar yakni transparansi dan tidak mengabaikan siswa miskin.

"Semaju apa pun sekolah swasta, pengelolanya harus tetap menjamin transparansi terhadap biaya yang dipungut dari orang tua, lalu siswa miskin yang mendaftar dan lolos tes tidak boleh ditolak," katanya.

Menurut dia, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memang menawarkan hibah rehabilitasi, tapi biaya rehabilitasi yang diberikan juga tidak selalu mencukupi, sehingga dibutuhkan biaya tambahan dari orang tua siswa.

"Berapa pungutan itu, saya kira tidak ada ukuran yang sama antarsekolah dan antardaerah, karena itu sulit diukur. Yang penting adalah transparansi sekolah kepada orang tua siswa," katanya.

Misalnya, ia mencontohkan tuntutan orang tua siswa untuk kualitas sarana dan prasarana, seperti ruang kelas yang ber-AC, proses pembelajaran dengan "OHP" di kelas, dan berbagai kegiatan kreatif untuk siswa.

Tahun Pelajaran 2011-2012, SD Khadijah, Wonokromo, Surabaya, menarik biaya pendaftaran ulang kepada setiap siswa sebesar Rp100 ribu, uang kegiatan setahun Rp455 ribu, dan uang buku Rp355 ribu, namun uang buku tidak wajib, karena orang tua diperbolehkan membeli buku di toko buku.

Masalahnya, pungutan di sekolah negeri terkadang jauh lebih beraneka, bahkan pungutan itu dilakukan berulang kali sehingga nilai keseluruhan bisa lebih besar dibandingkan dengan pungutan di sekolah swasta.

Di Kampus

Agaknya, pungutan yang tidak jauh berbeda juga terjadi di kalangan perguruan tinggi (kampus), bahkan pungutan di perguruan tinggi negeri juga bisa lebih besar daripada perguruan tinggi swasta.

Di kalangan perguruan tinggi, pendidikan dokter sering diidentikkan dengan biaya mahal dan pendidikan dokter yang "tertua" ada di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

Namun, Unair kini mengubah pola pendidikan dokter mulai tahun ajaran 2011-2012 dengan membuka empat pola yang salah satu di antaranya membuka peluang bagi calon mahasiswa pandai tetapi miskin untuk masuk kedokteran tanpa bayar alias gratis.

"Tahun ini, ada 25 kursi yang disediakan gratis. Ke-25 kursi ini untuk calon mahasiswa yang lolos SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dari keluarga miskin," kata Wakil Rektor II Unair M Nasich (30/4/2011).

Parameter keluarga miskin akan ditentukan dalam program beasiswa bidik misi dari pemerintah, di antaranya pendapatan orangtua tidak lebih dari Rp1.350.000, kondisi rumah, kepemilikan harta benda seperti sepeda motor, sepeda, hingga besarnya pemasangan daya listrik dan biaya per bulannya.

Bagi 25 mahasiswa yang lolos bidik misi pendidikan dokter akan dibebaskan dari iuran sumbangan operasional pendidikan (SOP) yang seharusnya dibayar saat daftar ulang pertama, kemudian gratis sumbangan peningkatan dan pengembangan pendidikan (SP3) per semester, serta gratis biaya daftar ulang.

Mereka juga mendapat bantuan biaya hidup Rp600.000 per bulan dari Kemdiknas dan tidak akan dikenai biaya tambahan untuk masuk program dokter.

selain itu, ada 25 kuota lagi yang digratiskan SP3-nya serta SOP harus membayar Rp1,25 juta per semester. Mereka ini yang lolos SNMPTN dan penghasilan orangtuanya Rp1.350.000 hingga Rp2,5 juta per bulan dan lolos dalam program bidik misi.

Namun, ke-25 mahasiswa miskin yang gratis masuk kedokteran Unair itu hanya 20 persen dari calon mahasiswa kedokteran, sedangkan sisanya merupakan calon mahasiswa yang kuliah kedokteran lewat jalur mandiri dan SNMPTN.

Di Unair, biaya jalur mandiri relatif sangat mahal. Untuk pendidikan dokter dikenai SP3 Rp175 juta, sedangkan SOP-nya Rp6 juta per semester. Belum lagi pembayaran daftar ulang, serta biaya-biaya tambahan program dokter.

Bagi mahasiswa yang lolos SNMPTN dengan orangtua mampu atau mampu golongan I dengan penghasilan orangtua Rp2,5 juta hingga Rp7,5 juta, maka SP3-nya mencapai Rp15 juta dan SOP-nya Rp1,25 juta per semester.

Untuk penghasilan orangtua di atas Rp7,5 juta per bulan (golongan mampu 2), maka SP3 naik menjadi Rp50 juta dan SOP Rp1,25 juta per semester. Kenaikan makin fantastis untuk jalur mandiri yang mematok angka SP3 Rp175 juta dan SOP Rp6 juta per semester.

"Sebenarnya kalau dihitung-hitung, SOP dan SP3 ini hanya sembilan persen dari beban biaya pendidikan di pendidikan dokter, sisanya kami dan negara yang menanggung," katanya.

Menanggapi tingginya biaya pendidikan itu, staf khusus Mendiknas bidang komunikasi dan media massa, Sukemi, mengatakan pihaknya melarang pungutan atau tarikan SD dan SMP negeri, karena mereka sudah menerima biaya operasional sekolah (BOS) dari pemerintah.

"Untuk siswa baru pun nggak boleh pungutan itu, kalau sudah terlanjur, maka sekolah wajib mengembalikan kepada orang tua," katanya kepada ANTARA di Surabaya (17/7/2011).

Menurut dia, BOS yang diberikan pemerintah itu sudah mencakup 12 item pembiayaan di sekolah, termasuk di dalamnya biaya administrasi, biaya pendaftaran, biaya buku, dan biaya lain-lain.

"Karena itu, kalau masih ada tarikan, maka harus dikembalikan kepada orang tua siswa. Kalau tidak laporkan kepada kami, nanti kami akan melakukan tindak lanjuti," katanya.

Mengenai sekolah RSBI (rintisan sekolah berstandar internasional) yang menarik biaya cukup besar, ia mengaku pelaksanaan RSBI memang ada salah penerapan di lapangan, karena itu Kemdiknas akan melakukan evaluasi.

"Ya, ada penerapan yang salah, tapi kami sudah melakukan moratorium (penghentian sementara) untuk izin RSBI baru sampai ada hasil evaluasi RSBI yang saat ini sedang berlangsung. RSBI itu harus sekolah yang sudah memiliki SSN (sekolah standar nasional) dan memiliki jalinan `sister school` dengan negara lain," katanya.

(*)

Oleh Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011