Jakarta (ANTARA News) - Masih banyak fasilitas umum seperti hotel, rumah sakit dan restoran di Jakarta, yang belum memikirkan musola sebagai aspek penting dalam menjaring pelanggan dan menganggap penyediaan musola sebagai 'pemborosan' bagi manajemen.

"Hasil penelitian marketing etnografi menunjukkan hal tersebut," kata ahli etnografi Amalia E. Maulana Ph.D, kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.

Berbeda dengan fasum premium seperti rumah sakit, hotel dan restoran, pusat perbelanjaan seperti mall yang dibangun dalam kurun waktu lima tahun terakhir tergolong paling serius memikirkan kehadiran musola. "Rupanya pengelola mall sudah menyadari benar bahwa pembangunan musola merupakan sebuah `keharusan? yang mesti direncanakan sejak awal," kata Amalia.

Menurut dia, penelitian marketing dengan pendekatan etnografi dilakukan melalui peninjauan langsung terhadap konsumen di lokasi (tempat) mereka berinteraksi, sehingga mampu memberikan gambaran yang paling mendekati kebenaran atas obyek yang ditelitinya, khususnya bila ia menyangkut perilaku konsumen dalam kehidupan sehari-hari.

Amalia menyampaikan hasil peneleitiannya dalam jumpa pers. Dua pembicara lain dalam konperensi pers itu adalah dosen komunikasi dan peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Syafiq Basri Assegaff, dan Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia Handaka Santosa.

Dalam penelitiannya, Amalia membagi responden berdasarkan tiga faktor, yakni lamanya waktu mereka berada di fasilitas umum, tingkat ketaatan mereka pada agama, dan kepedulian mereka pada kebersihan.

Hasilnya, mayoritas pengunjung menginginkan adanya musola yang `keren` pada fasilitas-fasilitas umum itu. "Musola merupakan aspek penting dalam memenuhi kepuasan pengunjung, dan tidak kalah penting dibandingkan prasarana lain seperti ruang rapat, cafe, lahan parkir, atau ruang menyusui bagi para ibu," kata direktur Etnomark Consulting itu.

Sebabnya tak lain karena saat ini sebagai fitur jasa atau produk musola sudah bergeser dari `peningkat kepuasan` (augmented benefit) menjadi `manfaat yang diharapkan? (expected benefit), yaitu jenis manfaat yang terintegrasi dan merupakan sebuah `keharusan` bagi konsumen, tambah Amalia.

Di antara aspek yang perlu dibenahi dalam memenuhi faktor "expected benefit", sebuah musola adalah lokasi, kenyamanan, dan kebersihan mukena dan sarung, sebagaimana handuk di hotel yang dicuci setiap hari.


Usaha tarik pengunjung

Sebagian pengelola mall sebenarnya sudah menyadari pentingnya musola yang baik atau `keren` itu. "Jujur harus kami akui bahwa musola yang nyaman dan bagus menjadi salah satu usaha kami untuk menarik pengunjung, apalagi bila melihat bahwa sekitar 90 prosen pengunjung adalah orang Islam," kata CEO Mall Senayan City, Handaka Santosa, yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan ternama di Jakarta.

Senayan City adalah salah satu unit usaha di bawah Agung Podomoro Land. "Kita harus membuat pengunjung nyaman, sehingga semakin lama orang berada dalam kompleks mall, makin bagus bagi bisnis kami," tambah Handaka, yang juga Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia.

Menurut Handaka, di Jakarta terdapat 68 mall dan pusat perdagangan (trade centres).

Apa yang dikemukakan Amalia dan Handaka itu sejalan dengan kenyataan makin tingginya kepedulian terhadap agama di kalangan masyarakat perkotaan di Indonesia.

Menurut peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, Syafiq Basri Assegaff, ramainya orang solat di mall dan perkantoran bukan saja menunjukkan makin pesatnya pertumbuhan populasi orang Islam, melainkan juga seakan-akan mereka hendak memenangkan `perlombaan` melawan modernisasi, yang sering disamakan dengan `sekularisasi`.

"Pengelola fasilitas umum itu tidak bisa lagi menganggap bahwa sarana ibadah adalah `urusan akhirat` semata, kuno dan tidak modern," kata Syafiq.

Menurut Syafiq, modernisasi sering dianggap sebagai penyebab mundurnya pengaruh agama, keterasingan dari masyarakat, dan tergerusnya iman dan perilaku keagamaan oleh suasana `sekular`. "Oleh karena itu, pengelola fasilitas umum mesti membantu pembuktian bahwa `kemoderenan` yang mereka sediakan bagi konsumen tidak bermaksud menjauhkan mereka dari agama," tambah Syafiq.

Dengan menyediakan musola yang keren, pengelola fasilitas umum bukan saja membantu terlaksananya amar maruf dan nahi munkar, Mereka sekaligus melaksanakan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat, yang sangat dianjurkan pakar komunikasi bisnis di dunia belakangan ini, kata Syafiq.

Hal itu, tambahnya, telah menjadi pedoman bagi perusahaan yang ingin maju, sebagai bukti bahwa perusahaan telah `mendengarkan apa yang diinginkan konsumennya. "Bila pengusaha tidak mendengarkan konsumen, jangan salahkan bila pasar beralih kepada pesaing, misalnya pergi berbelanja ke negeri tetangga yang saat ini biaya tiketnya relatif murah," tambah dosen komunikasi Paramadina itu lagi.

(T.M016/S006}

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011