Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah (Depkominfo) bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta agar menolak rencana kenaikan tarif lokal PT Telekomunikasi Indonesia yang diusulkan melalui program "rebalancing" (penyesuaian) tarif. "Pemerintah agar tidak gegabah menerima usulan kenaikan tarif, mengingat kondisi masyarakat saat ini yang terbebani berbagai kenaikan barang-barang kebutuhan," kata Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, kepada ANTARA di Jakarta, Jumat. Sementara itu, pengamat telekomunikasi dan multimedia KMRT Roy Suryo menjelaskan usulan PT Telkom tersebut tidak berdasar, karena dari sisi keuangan perusahaan sejauh ini masih bagus, sehingga kenaikan itu tidak terlalu mendesak. Diketahui, pada Oktober 2005 Telkom mengusulkan "rebalancing" tarif kepada Menkominfo, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang diusulkan berlaku 1 Februari 2006. Dalam program itu, tarif lokal akan dinaikkan, namun di sisi lain memang terjadi penurunan pada tarif sambungan langsung jarak jauh (SLJJ). Alasannya antara lain adanya tarif bersubsidi pada jasa telepon lokal dan tarif bulanan (abonemen), termasuk akibat kenaikan biaya operasional pasca kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Sementara itu, Dirut PT Telkom Arwin Rasyid mengatakan usulan itu juga merupakan program yang sudah disepakati dengan DPR pada 2002. Dalam kesepakatan DPR tahun 2002, tarif rebalancing boleh naik sebesar 45,95 persen dalam jangka waktu tiga tahun. Kenaikan pertama dilakukan pada 2002 sebesar 19 persen, 2003 ditunda karena bersamaan dengan kenaikan tarif listrik, berikutnya April 2004 kenaikan rata-rata 9 persen. Dengan demikian potensi PT telkom menaikan tarif masih 21,49 persen. "Kita hanya menjalankan program pemerintah saja. Untuk itu, kita masih menunggu hasil kajian BRTI, selanjutnya akan kita kaji," ujar Arwin. Sudah tidak relevan Roy Suryo berpendapat apa yang telah disepakati pada 2002 itu sudah tidak relevan lagi dilaksanakan pada saat ini. Persetujuan pemerintah dan DPR ketika itu, ujarnya, memiliki beberapa syarat antara lain, agar Telkom dapat meningkatkan teledensitas telepon, dan membangun infrastruktur, terutama telekomunikasi di pedesaan (USO). "Kenyataannya pertumbuhan satuan sambungan telepon tetap relatif tidak bertambah. USO juga cenderung gagal," katanya. Ia mengkaji jika tarif telepon lokal naik, praktis akan mempengaruhi tarif layanan komunikasi lainnya, seperti layanan seluler, internet, karena terkait biaya interkoneksi antar operator telekomunikasi. "Komunikasi telepon lokal merupakan salah satu layanan yang paling banyak digunakan masyarakat," ujarnya. Untuk itu, ujar Roy, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi DPR untuk lebih jernih berpikir bahwa kenaikan tarif telepon dipastikan juga akan membebani masyarakat. "DPR pada 2002 berbeda dengan DPR sekarang. Untuk terus meningkatkan citranya, DPR sekarang harus berani mencabut keputusan yang lama. Keberpihakan kepada rakyat jangan hanya soal beras, tetapi juga ditunjukkan pada kasus kenaikan tarif telepon," ujarnya. Sedangkan menurut Sudaryatmo, semestinya dalam kondisi seperti sekarang ini, pemerintah (Depkominfo) mampu membuat kebijakan di industri telekomunikasi yang memihak kepada konsumen. "Dengan demikian, harga atau tarif yang dikonsumsi masyarakat lebih rendah, sehingga tingkat teledensitas bisa meningkat dari saat ini yang hanya 3,8 persen," ujarnya. (*)

Copyright © ANTARA 2006