Bengkulu (ANTARA News) - Pengurus MUI akan mempertimbangkan perlunya mengeluarkan fatwa tersendiri mengenai larangan bagi umat untuk membeli dan membaca majalan Playboy yang akan diedarkan edisi Indonesianya Maret 2006 mendatang. "Adanya keinginan agar fatwa itu diterbitkan patut dihargai dan umat terkadang memang harus dituntun dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar," ujar Ketua MUI, Drs. H. Nazri Adlani, usai memberikan pengarahan dalam Musda VII MUI propinsi Bengkulu, Jumat. MUI sendiri sudah jelas sikapnya menolak beredarnya majalah Playboy apapun dalihnya. Penolakan itu sudah disampaikan kepada pengelola majalan tersebut yang datang menemui pengurus MUI beberapa waktu lalu. Peredaran majalah play boy, menurut Nazri merupakan bagian dari barat untuk melemahkan umat. Penguasaan terhadap aset negara, informasi, multimedia serta pornografi dan porno aksi merupakan bagian dari strategi barat untuk "merusak" Islam. Kalaupun pengelola majalah Playboy edisi Indonesia berdalih bahwa majalah mereka berbeda dengan edisi di Amerika dengan disertai batasan-batasan, namun bagi pengurus itu adalah akal-akalan mereka saja. "Bahkan KH. Ma`ruf Amin menyatakan, kalau memang mau berbeda dengan edisi di AS, kenapa tidak berganti nama misalnya dengan Goodboy," ujar Nazri. Adanya keinginan sementara pihak agar menunggu disetujuinya RUU pornografi dan pornoaksi, perlu dikeluarkan Perppu oleh pemerintah, pihaknya menilai hal itu perlu dilakukan. Bila ada UU pornografi dan pornoaksi sudah diberlakukan, tentunya keberadaan UU itu akan mampu menghindari terbitnya majalah playboy di Indonesia, tapi sementara waktu memang perlu adanya suatu peraturan pemerintah yang melarang peredaran playboy di Indonesia. Pengurus MUI mendesak, agar seluruh komponen bangsa bersama-sama menggalang kekuatan untuk mendorong disahkannya UU antipornografi dan pornoaksi yang sudah cukup lama mengendap di DPR-RI itu. "Ketika diajukan RUU itu masuk urutan ke 120 untuk dibahas, sekarang anggota parlemen sudah berganti, tapi UU itu belum juga dibahas dan disyahkan. Kalau melakukan hal lain seperti class action rasanya tidak mungkin karena bisa melanggar KUHAP dan HAM," ujarnya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006