Ini(APBN) tidak ada kepemimpinan dan tercabik-cabik, karena ketiadaan kepemimpinan itulah sehingga tidak ada strategi.
Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (INDEF) Didik J. Rachbini mengatakan, pada zaman kepemimpinan Presiden Suharto APBN yang tidak lebih dari Rp100 triliun sudah dapat membangun infrastruktur, seperti bendungan, pabrik pupuk bahkan membeli satelit Palapa.

"APBN sekarang ini secara politik ekonomi tidak memiliki kepemimpinan dan tidak memiliki prioritas yang jelas untuk menjalaninya," jelas Didik dalam sebuah dialog, di Jakarta, Selasa malam.

"Ini (APBN) tidak ada kepemimpinan dan tercabik-cabik, karena ketiadaan kepemimpinan itulah sehingga tidak ada strategi," kata dia.

Ia mencontohkan, APBN saat ini diibaratkan sebuah kendaraan yang memiliki bahan bakar full tank yang tidak memiliki strategi untuk mencapai suatu kota tujuan yang mengakibatkan para penumpangnya tidak bisa mencapai kota yang dituju.

"Ya, seperti kita punya mobil yang bensinnya penuh dan ingin pergi dari Jakarta ke Bandung, tapi karena tidak ada strategi, mobilnya boros, kemudian diajak keliling dulu, bahkan mobilnya mengalami kebocoran bensin, tentu dengan keadaan seperti ini tidak akan sampai ke Bandung, itu kira-kira gambaran umum APBN kita, sehingga APBN kita saat ini betul-betul lemah," ujarnya.

Ia menjelaskan, anggaran belanja negara yang saat ini sudah mencapai kisaran Rp1.320 triliun dianggapnya belum dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan tidak efektif.

Sebenarnya, lanjut Didik, anggaran APBN itu terbatas, kalau terbatas harus ada prioritas yang penting untuk menjadi lokomotif.

"Kalau ada strategi tentu bisa ditentukan prioritasnya, tidak bisa kita punya air sedikit mau tanam cabai, tanam ini, tanam itu, ya gak bisa. Kita bisa lihat Inggris, mereka fokusnya adalah rel kereta api, kemudian di tengah-tengahnya ada pelabuhan, properti, ini kita gak punya fokus, karenanya APBN tercabik-cabik," katanya.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Permadi Soemantri Brojonegoro mengatakan di satu sisi terlihat bahwa APBN adalah anggaran yang menjanjikan, namun dari sisi kualitas anggaran tentunya masih harus diperbaiki.

Sebagai contoh, total subsidi baik subsidi energi maupun non energi dalam APBNP yang sudah di atas Rp230 triliun dinilai belum memberikan dampak yang signifikan, bahkan masyarakat merasa hidupnya masih sulit.

"Yang pasti adalah subsidi yang diterapkan saat ini adalah subsidi yang tidak tepat sasaran, karena sifatnya adalah subsidi terhadap harga, dan harganya adalah harga bensin premium sehingga banyak pihak yang sebenarnya tidak berhak menikmati subsidi, tapi ikut menikmati subsidi dan itu jumlahnya sangat besar," kata Bambang.

Menurutnya, kalau kita lihat dari 100 persen total pemakaian BBM bersubsidi, mayoritas dipakai oleh transportasi darat. "Nah, transportasi darat itu 53 persen adalah kendaraan pribadi roda empat, sekitar 40 persen adalah kendaraan roda dua, sisanya angkutan umum dan barang," ungkapnya.

Padahal, yang harus menerima subsidi itu tentunya adalah angkutan umum dan barang, karena ini penting untuk menjaga kelangsungan perekonomian dan distribusi agar barang tidak mahal.

"Artinya, masih ada yang 53 persen tadi yang sebenarnya mungkin tidak tepat sasaran, jadi kita lihat disini sudah ada potensi yang sangat besar kalau ada suatu kebijakan yang terkait dengan pemakaian BBM bersubsidi di kendaraan pribadi, jadi itu satu hal yang harus kita isi, kita perbaiki ke depan," katanya.

(ANT-135)(A026)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011