Atambua, NTT (ANTARA News) - Pengamat militer dan penasehat polisi United Nations Office in Timor Leste (UNOTIL) di perbatasan darat Timor Timur (Timtim) dengan Indonesia harus adil dan obyektif menilai berbagai persoalan yang terjadi di perbatasan. Harapan itu disampaikan Wakil Ketua Tim Investigasi Indonesia insiden Malibaca, AKBP Drs Mochamad Iriawan,SH di Atambua, Sabtu setelah pada Jumat (27/1) mengambil bagian pada rapat pleno Joint Investigative Team (JIT) yang berlangsung di Batugade, Timtim. Pleno itu dalam rangka pemaparan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) insiden penembakan tiga warga negara Indonesia keturunan Timtim di Sungai Malibaca, 6 Januari lalu. "Ketika olah TKP di Sungai Malibaca (25/1) kami meminta para pengamat militer UNOTIL adil dan obyektif dalam memandang dan menilai sebuah masalah di tapal batas kedua negara. Jika tidak, masyarakat akan menilai mereka sebagai agen pemecah-belah kekerabatan antar-orang Timtim dengan NTT," katanya. Dia mengatakan, sejak Timtim melepaskan diri dari Indonesia pada Agustus 1999 banyak terjadi insiden kekerasan tidak kurang telah 11 kali konflik perbatasan yang melibatkan aparat keamanan Timtim. Dalam rangka penanganan berbagai insiden kekerasan di perbatasan itu, banyak warga menilai bahwa pengamat dan penghubung militer serta penasehat polisi Timtim dari UNOTIL sering bersikap tidak obyektif dan tidak adil. "Mereka selalu menempatkan masyarakat Timtim sebagai kelompok yang paling benar di perbatasan sekaligus mempersalahkan masyarakat perbatasan NTT," kata dia. Pengamat militer sering tidak obyektif menilai suatu masalah di perbatasan. Bahkan, cenderung membela Timtim padahal keberadaan mereka hanya sebagai pengamat dan penasehat untuk dua bangsa di perbatasan, bukan sebagai pembela rakyat Timtim sekalipun rakyat itu bertindak salah. Jangan sampai, lanjutnya, masyarakat menilai para pengamat militer dan penasehat polisi Timtim itu sebagai agen yang berusaha memecah-belah dan memutuskan jalinan kekerabatan dan menciptakan situasi di mana masyarakat Timtim dan NTT selalu hidup dalam curiga dan permusuhan. Iriawan mengatakan, ketika melakukan olah TKP insiden Malibaca, pihaknya meminta para penghubung militer dan penasehat polisi Timtim dari UNOTIL itu agar benar-benar obyektif. "Jika polisi penjaga perbatasan Timtim (BPU-PNTL) terbukti bersalah, maka katakanlah bahwa mereka bersalah sebaliknya jika lima orang WNI pencari ikan di Sungai Malibaca itu bersalah, katakanlah bahwa mereka bersalah," katanya. Jangan sampai, lanjut dia, pengamat militer UNOTIL membalikkan fakta. Fakta yang benar menjadi salah sedangkan yang salah dibenarkan untuk memenuhi kepentingan politik tertentu. Tiga WNI eks pengungsi Timtim yang ditembak aparat BPU-PNTL di Sungai Malibaca pada 6 Januari 2005 adalah Candido Mariano, Jose Mausorte dan Stanis Maubere sedangkan dua pencari ikan lainnya yakni Egidius Dasi Leto (15) dan Elias Tavares (16) lolos dari insiden maut itu.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006