Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) menilai, pertumbuhan kredit perbankan saat ini belum sampai pada tingkat yang membahayakan pertumbuhan ekonomi sehingga belum perlu diperlambat, seperti dengan menerapkan aturan loan to value.

"Kalau kita anggap pertumbuhan kredit sudah sampai tahap membahayakan bisa kita pakai, tetapi kalau kita lihat itu belum berbahaya tidak kita pakai. Saya secara pribadi melihat itu belum memasuki tahap membahayakan," kata Deputi Gubernur BI, Muliaman D. Hadad, di Jakarta, Senin.

Loan to value itu rasio pinjaman dengan agunannya. Itu akan ada pengaturannya walau belum dalam waktu dekat, apakah tahun ini tergantung situasi apakah itu perlu didorong atau tidak, karena itu bisa menjadi salah satu cara untuk menahan pertumbuhan kredit.

Menurut dia, laju kredit sampai saat ini secara industri masih dalam koridor yang belum membahayakan pertumbuhan ekonomi, apalagi belakangan kredit sektor investasi dan modal kerja terus meningkat.

"Kalau kredit lebih banyak ke konsumtif itu jauh berbahaya, tetapi sekarang kan banyak ke sektor produktif, terutama investasi dan modal kerja," katanya.

Meski ada beberapa bank yang memiliki kredit konsumsi yang tinggi, Muliaman menilai secara agregat nasional belum tinggi dan beberapa bank sudah memiliki kredit ke sektor non-konsumsi yang tinggi.

"Satu bank dengan bank lain memang berbeda, kepesatannya harus diteliti, tetapi agregat secara nasional belum, nanti akan ada pendekatan pengawasan untuk melihat satu per satu bank. Jadi lebih banyak pendekatan pengawasan, secara industri masih oke, secara individu ada beberapa yang perlu dimonitor secara ketat," katanya.

Mengenai efektivitas pengumuman Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), Muliaman mengatakan akan melakukan evaluasi pelaksanaannya karena ada beberapa bank yang keliru menerapkannya seperti dengan menuliskan suku bunga akhir sebagai SBDK.

"Jadi di sana sini harus dibereskan, kita ingin masukan masyarakat apakah mereka dapat manfaat dari keterbukaan ini, sebagai bagian untuk mendorong kompetisi lebih sehat. Ini yang sedang kita survei," katanya.

Menurutnya, pengumuman SBDK di koran tiga bulan sekali, jangan-jangan tidak terekspos ke masyarakat sehingga akses ke publik ini terhadap sumber informasi ini akan diperbaiki. "Apakah kita minta lebih sering diumumkan, tapi itu belum diputuskan, itu jadi salah satu opsi kita," katanya.

BI sebelumnya mewajibkan bank dengan aset di atas Rp10 triliun untuk mengumumkan SBDK di koran dan di website perusahaan dengan tujuan agar informasi mengenai SBDK ini terbuka ke publik dan mendorong persaingan antar bank yang akhirnya bisa menurunkan suku bunga.

Setelah dimulai sejak 31 Maret, BI mencatat, efektivitas untuk menurunkan suku bunga belum terasa karena suku bunga di sejumlah bank justru meningkat.
(T.D012/S004)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011