Jakarta (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menyebut Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pembangunan Sarana Jaya gagal untuk menyukseskan Program "Hunian DP 0 Rupiah" yang merupakan janji Kampanye gubernur dan wakil gubernur Provinsi DKI Jakarta periode 2017--2022.

Hal tersebut termuat dalam surat tuntutan mantan Direktur Utama BUMD Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles yang dituntut 6 tahun 8 bulan penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan karena dinilai jaksa terbukti terlibat dalam perkara dugaan korupsi pengadaan tanah proyek "Hunian DP 0 Rupiah" di Munjul, Jakarta Timur yang merugikan negara Rp152,565 miliar.

BUMD yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, menurut jaksa KPK, malah tidak memberikan keuntungan bagi negara dalam hal ini pemerintah provinsi DKI Jakarta.

"Karena adanya tindakan koruptif dari pengusaha yaitu mitra BUMD yang berkolusi dengan oknum pejabat BUMD. Perbuatan ini bukan saja telah merugikan keuangan negara, namun secara luas berdampak kepada tidak terwujudnya tujuan kesejahteraan masyarakat karena tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Takdir Suhan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (10/2/2022).

Padahal Pemprov DKI Jakarta telah mengeluarkan uang yang cukup besar untuk mendanai kegiatan tersebut.

KPK pun melakukan upaya perampasan terhadap harta kekayaan para pelaku demi memulihkan kerugian keuangan negara (asset recovery) yang senilai kerugian negara yaitu Rp152,565 miliar.

Awal perkara
Perkara ini diawali pada periode 2018-2020 pemerintah provinsi DKI Jakarta mencari tanah untuk hunian terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) melalui program "Hunian DP 0 Rupiah" seperti isi kampanye gubernur terpilih 2017-2022 Anies R Baswedan.

Untuk merealisasikan program tersebut, pada 2018 Yoory Corneles selaku sebagai Dirut Sarana Jaya yang merupakan BUMD dengan tugas penyedia tanah, perumahan dan bangunan di Pemprov DKI Jakarta mengajukan usulan Penyertaan Modal Daerah (PMD) kepada Gubernur DKI Jakarta untuk APBD Tahun Anggaran 2019 sebesar Rp1,803 triliun.

Dana triliunan tersebut rencananya digunakan untuk pembelian alat produksi baru, proyek "Hunian DP 0 Rupiah", dan proyek Sentra Primer Tanah Abang.

Sekitar akhir 2018, Yoory dan Senior Manajer Divisi Pertanahan dan Hukum Sarana Jaya yaitu Yadi Robby menyampaikan kepada Direktur PT Adonara Propertindo Tommy Adrian bahwa di awal 2019 Sarana Jaya membutuhkan lahan untuk program "Hunian DP Nol Rupiah" di Jakarta Timur.

Syaratnya tanah tersebut harus lebih luas dari 1 hektare, berlokasi di jalan besar, lebar muka bidang tanah 25 meter dengan minimal "row" jalan sekitar 12 meter.

Pada awal Januari 2019, Tommy dan stafnya Anton, mendapat informasi calo tanah bernama Minan ada lahan yang masuk kriteria tersebut dan dijual seharga Rp2,5 juta per meter persegi yang merupakan milik Yayasan Kongregasi Suster-Suster Carolus Borromeus (CB).

Pada 25 Maret 2019, Tommy Adrian, dengan pemilik PT Adonara yaitu Anja Runtuwene serta sekretaris Anja bernama Yohana berangkat ke Yogjakarta untuk bertemu dengan pihak Suster CB.

Saat pertemuan itu langsung dilakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) untuk tanah yang berlokasi di Jalan. Asri I RT 002 RW 03 di Munjul Pondok Ranggon Kecamatan Cipayung Jakarta Timur seluas 41.921 meter persegi.

Harga jual tanah yang disepakati adalah Rp2,5 juta per meter persegi sehingga nilai jual tanah keseluruhan adalah sebesar Rp104.802.500.000 yang terdiri dari 11 Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan 14 girik.

Kongregasi Suster CB menerima uang muka dari Anja seluruhnya sejumlah Rp10 miliar yang dibayarkan pada 25 Maret dan 6 Mei 2019 masing-masing Rp5 miliar.

Namun hingga batas waktu yang telah disepakati berakhir yaitu sekitar Agustus 2019, PT Adonara tidak kunjung melunasi tanah sehingga Kongregasi Suster CB pun melakukan somasi dan meminta pengembalian seluruh surat kepemilikan hak tanah.

Kongregasi Suster CB pun mengembalikan seluruh uang uang muka senilai Rp10 miliar melalui notaris Yurisca Lady Enggrani dan pada 1 Oktober 2020 Yurisca mentransfer Rp10 miliar tersebut kepada Anja Runtuwene.

Sayangnya, Anja menolak pembatalan perjanjian dan mengirimkan kembali uang Rp10 miliar tersebut ke rekening Yurisca hingga akhirnya uang tersebut malah digunakan oleh Yurisca untuk keperluan pribadi hingga senilai Rp7,101 miliar.

Yurisca menggunakan uang muka tanah Munjul tersebut antara lain untuk penggantian pembayaran BPHTB tanah Sarana Jaya di Lebak Bulus, dana titipan Tanah Abang yang sedang berperkara, fee akta tanah, pembelian jam Rolex bekas, pembelian tas Channel tipe klasik, pembelian anting, kalung dan cincin berlian, pembayaran kartu kredit, pembelian mebel, pembayaran cicilan mobil, pembayaran uang pangkal sekolah anak, biaya operasional rumah hingga biaya operasional kantor notaris.

Sesungguhnya, sebelum uang muka dikembalikan pada 4 Maret 2019, Anja Runtuwene diketahui sudah langsung menawarkan tanah Munjul kepada Yoory dengan mengaku seolah-olah sebagai pemilik tanah, padahal terungkap di persidangan bahwa Anja menjadi pemilik tanah karena baru membayar uang muka tahap pertama senilai Rp5 miliar.

Meski tanah belum dilunasi oleh Adonara, Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) Wahyono Adi dan Rekan pada 21 Maret 2019 sudah menerbitkan Advance Figure/Nilai Pendahuluan tanpa tanda tangan Wahyono Adi atas tanah Munjul tersebut dengan nilai pasar Rp6,116 juta per meter persegi sehingga total nilai pasar adalah sebesar Rp252,602 miliar.

Selanjutnya pada 26 Maret 2019, Senior Manajer Divisi Usaha merangkap Ketua Tim Investasi Sarana Jaya Indra Sukmono Arharrys menandatangani dokumen Investasi dan disetujui oleh Direksi PPSJ berisi persetujuan atas surat penawaran Anja untuk tanah Munjul

Dokumen-dokumen itu pun dibuat dengan "back date" dan belum ada kajian "feasibility Study" serta belum ada hasil "appraisal".

Sarana Jaya lalu membayar termin I sejumlah 50 persen kepada Adonara Propertindo yaitu atau sebesar Rp108,967 miliar pada 8 April 2019 meski saat itu status tanah Munjul belum beralih dari Kongregasi CB ke Anja. Apalagi diketahui tanah di Munjul mayoritas (83,2 persen) masuk zona hijau rekreasi yang tidak sesuai dengan peruntukan untuk dibangung rumah susun.

Pada 10 Desember 2019, Sarana Jaya menerima pencairan Penyertaan Modal Daerah (PMD) sebesar Rp350 miliar dan pada 18 Desember 2019 mendapat pencairan PMD tahap II sebesar Rp450 miliar sehingga total PMD yang didapat adalah Rp800 miliar.

Sarana Jaya pada 18 Desember 2019 pun melakukan pembayaran termin II kepada Adonara sebesar 20 persen yaitu sejumlah Rp43,597 miliar. Artinya Sarana Jaya total sudah membayar 70 persen tanah Munjul atau sebesar Rp152,565 miliar.

"Pembayaran dilakukan walau Yoory Corneles mengetahui tanah tersebut masih memiliki masalah terkait surat kepemilikan hak atas tanah dan zonasi yang tidak sesuai dengan peruntukan pembangunan hunian, tanpa memperhatikan kelayakan lokasi tanah dan perkiraan nilai tanah yang wajar," ungkap jaksa KPK.

Terhadap pembayaran yang dilakukan sebelum ada "clear and clean" dokumen tersebut, Yoory menyebut ia kecolongan.

"Terus terang saat itu saya marah. di ruangan saya ada Pak Slamet, Yadi, Indra, berempat. Saya sampaikan kok bisa, kemarin bilang kuning-kuning sekarang zona hijau," kata Yoory dalam sidang.

Yadi yang dimaksud adalah Yaddy Robby dan Indra yang dimaksud adalah Indra S Arharrys, keduanya adalah senior manajer Pembangunan Sarana Jaya.

"Ya saya merasa tanda petik ya mereka tidak melaporkan hal yang benar kepada saya. Saya kecewa dengan staf saya," ungkap Yorry.

Yoory pun mengakui ia tidak melihat tanah di Munjul itu secara langsung dan hanya menerima laporan secara lisan dari anak buahnya.

"Seharusnya dilakukan masing-masing divisi tapi begitu kami dapat amanah untuk membeli tanah, maka saya membuat tim investasi di situ. Saya berkarir dari nol di sana, sama-sama dengan staf, saya yakin dan percaya dengan manajer yang puluhan tahun berpengalaman, ada notaris juga," ungkap Yoory.

Penggunaan uang
Dari uang yang sudah ditransfer ke PT Adonara Propertindo senilai Rp152,565 miliar tersebut, selanjutnya dipergunakan oleh sejumlah pihak yaitu:

Pertama, penggunaan uang oleh Direktur PT Adonara Propertindo Tommy Adrian sebesar Rp3,477 miliar dengan rincian pembelian mata uang asing sebesar 210 ribu dolar AS dari mata uang rupiah sebesar Rp2,977 miliar dan untuk dana operasional senilai Rp500 juta.

Kedua, Anja Runtuwene menggunakan uang sebesar Rp8,12 miliar. Rinciannya penggunaan uang oleh Anja adalah:
1. Transaksi uang muka tanah Munjul (Tahap II) senilai Rp5 miliar
2. Keperluan Anja (12 transaksi) senilai Rp1,601 miliar
3. Angsuran rumah Anja di jalan Kencana Indah I (3 transaksi) senilai Rp599,853 juta
4. Pembayaran tagihan kartu kredit Anja (18 transaksi) senilai Rp499.676.711
5. Pembayaran "Security Building Service" (SBS) dan "Building Operation Management Service" (BOMS) namun tidak dibayarkan kepada vendor (13 transaksi) senilai Rp388.063.742
5. Renovasi aset senilai Rp31,5 juta.

Ketiga, penggunaan uang oleh suami Anja yang juga pemilik PT Adonara Propertindo Rudy Hartono Iskandar sebesar Rp123,339 miliar. Rincian penggunaan uang adalah:
1. Jual beli 17 bidang tanah sejumlah Rp38,634 miliar termasuk tanah di Meksiko, Denpasar, Rorortan, Amerika Serikat dan lokasi lain
2. Angsuran 3 apartemen di Singapura sebesar Rp17,278 miliar
3. Pembayaran rumah di berbagai lokasi sebesar Rp19,443 miliar.
4. Pembayaran 15 unit mobil antara lain Ferrari, Alphard, Fortuner, Mobilio, Toyota Harrier, Rolls Royce Ghost sebesar Rp10,16 miliar.
5. Operasional perusahaan selain PT. Adonara sebesar Rp11,54 miliar
6. Anggaran "Direct Business" sebesar Rp11,517 miliar
7. Transfer ke rekening bank milik Rudy lainnya sebesar Rp5,922 miliar
8. Pembayaran tagihan kartu kredit sebesar Rp4,426 miliar.
9. Angsuran Bank Muamalat sebesar Rp1,2 miliar
10. Keperluan pribadi Rudy sebesar Rp999,64 juta
11. Transaksi penarikan tunai yang pegawai perusahaan milik Rudy sebesar Rp807,043 juta
12. Pembelian valas 30 ribu dolar Singapura
13. Renovasi rumah sebesar Rp321,236 juta
14. Pengeluaran lain yang belum teridentifikasi sebesar Rp771,499 juta

Keempat, digunakan PT Adonara Propertindo sebesar Rp17,627 miliar. Kelima, digunakan oleh notaris Yurisca Lady Enggrani senilai Rp7,101 miliar.

Terhadap uang yang sudah dipergunakan tersebut, baik Anja, Rudy, PT Adonara maupun Yurisca sudah melakukan pengembalian dana dan penyerahan aset kepada KPK yaitu:

Pertama, pengembalian oleh Anja Runtuwene senilai total Rp31,278 miliar dengan rincian:
1. Pengembalian Rp5 miliar ke rekening KPK pada 26 Maret 2021
2. Pengembalian Rp5,1 miliar ke rekening KPK pada 29 Maret 2021
3. Pengembalian sebesar Rp500 juta ke rekening KPK pada 21 Mei 2021.
4. Pengembalian sebesar Rp500 juta ke rekening KPK pada 4 Juni 2021
5. Pengembalian uang Rp1,9 miliar dalam 10 kali transaksi ke rekening KPK pada 10 Juni - 19 Agustus 2021
6. Pengembalian Rp7,8 miliar ke rekening KPK pada 14 September 2021
7. Uang tunai senilai Rp4,483 miliar yang disita dan dimasukkan ke brankas KPK pada 15 September 2021
8. Uang sebesar Rp4,395 miliar yang disita dari CV Nezos pada 29 September 2021
9. Pengembalian Anja sebesar Rp1,5 miliar ke rekening BUMN Sarana Jaya senilai Rp1,5 miliar

Kedua, pengembalian dari notaris Yurisca Yady Enggrani pada 10 Juni 2021 - 7 Februari 2022 yang seluruhnya Rp5,28 miliar

Ketiga, pengembalian dari staf marketing di Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) Wahyono Adi bernama Ucu Samsul Arifin senilai Rp75 juta

Keempat, penyerahan aset tanah oleh Rudy Hartono pada 4 Februari 2022. Tanah tersebut terletak di Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat seluas 6.625 meter persegi senilai Rp114,248 miliar

Kelima, perampasan uang sebesar Rp29 miliar dari hasil lelang tiga bidang tanah milik Rudy Hartono di Badung, Bali seluas 690 meter persegi (dengan NJOP Rp4,274 miliar), 1 bidang tanah di Badung, Bali seluas 1.437 meter persegi (NJOP Rp8,902 miliar) dan 1 bidang tanah Tibubeneng Bali seluas 5.150 meter persegi (NJOP senilai Rp26,239 miliar).

Keenam, PT Adonara Propertindo juga mengembalikan aset ke KPK yaitu 1 unit mobil Mini Cooper S type Convertible A/T senilai Rp1,2 miliar dan 1 unit motor Honda PCV hitam senilai Rp56,878 juta

Sehingga total seluruhnya aset yang sudah dikembalikan ke KPK adalah senilai Rp154,864 miliar.

"Sudah selayaknya menurut hukum, uang dan aset yang diserahkan dirampas untuk negara guna mengganti kerugian keuangan negara serta sebagai pengurang kewajiban pembayaran uang pengganti dari para terdakwa," tutur jaksa KPK Ferdian Adinugroho.

Dengan demikian, Tommy Adrian, Anja Runtuwene dan Rudy Hartono tidak perlu lagi dibebani kewajiban pembayaran uang pengganti, namun tetap dimintakan pertanggungjawaban pidana.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I Tommy Adrian berpa penjara 7 tahun, terdakwa II Anja Runtuwene 5 tahun dan 6 bulan sedangkan terdahap terdakwa III Rudy Hartono Iskandar dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda masing-masing sebesar Rp500 juta subsider 2 bulan kurungan," ungkap jaksa KPK.

Tuntutan tersebut berdasarkan dakwaan dakwaaan pertama dari pasal 2 ayat (1) UU jo pasal 18 No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sedangkan PT Adonara Propertindo dituntut untuk menutup seluruh kegiatan perusahaan selama 1 tahun dan diwajibkan membayar denda sebesar Rp200 juta.

Namun, tuntutan JPU KPK tersebut belum diluluskan hakim karena para terdakwa yaitu Yoory, Tommy, Anja, Rudy dan PT Adonara Propertindo masih akan membacakan nota pembelaan (pleidoi) pada 17 Februari 2022 dan selanjutnya hakim akan membacakan vonis pada pekan selanjutnya.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022