Jakarta (ANTARA News) - Fakta bahwa 83 persen kawasan Indonesia, baik secara alamiah maupun karena salah urus, merupakan daerah rawan bencana ternyata tidak disikapi dengan bijak oleh pemerintah. Pernyataan tersebut dikemukan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) -- LSM Peduli Lingkungan -- Chalid Muhammad di Jakarta, Senin. "Kondisi itu jika tidak disikapi dengan bijak akan berubah menjadi petaka dan ironisnya dengan fakta semacam itu, berbagai kebijakan pemerintah yang muncul tidak berdasar atas pertimbangan bencana tersebut," katanya. Akibatnya, lanjut dia, semua peristiwa terkesan berulang, misal saat ini semua energi dicurahkan untuk mengatasi banjir dan tiga bulan kemudian sudah berganti untuk memikirkan masalah kemarau, terus berulah tanpa manajemen yang baik. Lebih lanjut, Chalid mengatakan, bencana gempa dan tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada penghujung 2004 setidaknya telah memaksa lahirnya sebuah pemikiran strategis, yaitu dirumuskannya Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana (RUUPB) yang tengah dibahas di DPR. Namun, di sisi lain hampir sejumlah daerah yang rawan bencana justru tidak terlalu peduli sehingga ketika Jember, Banjarnegara dan Sumbawa kembali terlindas bencana, pihak-pihak yang terkait tetap masih gagap menanganinya. "Kita harusnya berbenah diri dan melakukan tindakan-tindakan nyata untuk mereduksi ancaman bencana. Memetakan kawasan rawan bencana, menyusun perencanaan kedaruratan, meningkatkan kapasitas SDM dan kelembagaan penanganan bencana," paparnya. Saat ini, kata dia, masih banyak korban bencana yang terlantar dan belum terpenuhi semua kebutuhan dasarnya tetapi kebijakan pemerintah tidak sepenuhnya mengakomodasi kepentingan korban dan lingkungan dalam jangka panjang. Chalid mencontohkan kondisi di Aceh, di mana sebelum tsunami laju kerusakan hutannya mencapai 25 persen dari 33 juta hektar hutan Aceh. "Kerusakan tersebut antara lain ditimbulkan melalui konversi lahan, pembalakan liar dan pembukaan hutan untuk jalan raya dan lain-lain. Enam Daerah Aliran Sungai (DAS) di Aceh pun berada dalam kondisi kritis yang menunjukkan bahwa kehidupan terancam," katanya. Tetapi, lanjut dia, untuk kondisi yang luar biasa itu, pemerintah cenderung membuat kebijakan yang biasa-biasa saja. "Ketika perlu banyak kayu untuk bangun rumah di Aceh maka keluarlah ijin pembukaan delapan HPH dari Perhutani, tanpa mengingat laju kerusakan hutan di Aceh," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006