Jakarta (ANTARA News) - Tim Khusus Tenaga Kerja Indonesia (TKI) DPR RI menilai kebijakan amnesti 6P (pendaftaran, pengampunan, pemutihan, pemantauan, penguatkuasaan dan pengusiran) untuk para Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI) oleh pemerintah Malaysia bernuansa politis dan merupakan siklus reguler menjelang diadakannya pemilu.

Selain ada aspek politis dan ekonomi, menurut anggota Timsus TKI DPR Eva Kusuma Sundari dalam jumpa pers di ruang wartawan DPR di Jakarta Kamis, hal itu merupakan cerminan problem struktural di negara itu.

"Timsus menghendaki penyelesaian fundamental dan komprehensif agar kejadian serupa tak terulang kembali. Karenanya, timsus mengusulkan pemutihan dilaksanakan terlembaga sepanjang tahun," ujar Eva.

Timsus, kata Eva, menyayangkan ketidakjelasan prosedur pemutihan dan pembiayaannya yang menyebabkan TKI berada pada posisi rentan sebagai obyek pemerasan banyak pihak. "Salah satunya praktik outsourcing yang dilakukan oleh 348 agen pendaftaran resmi," katanya.

Berbagai kondisi itu, menurut dia, menyebabkan praktik sewa bendera telah memberatkan TKI yang ingin pemutihan, sementara majikannya pun enggan mengurus. Para TKI yang sewa bendera itu, diminta membayar levi dan ongkos untuk pemutihan sebesar RM 3600-4000 (tarif resmi RM 335).

"Nasib lebih mengenaskan lagi adalah TKI yang tidak punya majikan, dikenakan biaya Rp8-10 juta untuk sewa bendera," katanya.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Irgan Chairul Mahfidz, menambahkan, Timsus mendukung pemerintah untuk meminta prinsip "equal treatment" dalam pelaksanaan kebijakan pemutihan yakni kedua pihak, majikan dan pekerja, diperlakukan sama.

Sebab, menurut Irgan, ada kecenderungan majikan lepas tangan pada TKI demi pertimbangan pengamanan diri. "Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab TKI menjadi ilegal. Sepatutnya majikan juga mendapat pengampunan agar menjadi pendorong pemutihan status yang meringankan TKI, " ujar Irgan.

Timsus TKI menilai keberadaan TKI telah berkontribusi signifikan terhadap perekonomian Malaysia, terutama di sektor perkebunan/peladangan dan konstruksi sepatutnya dijadikan pertimbangan mengingat saling ketergantungan di antara dua perekonomiannya.

"Perlu ada kerja sama antara parlemen maupun pemerintah dua negara demi terciptanya hubungan ekonomi yang adil dan berdampak pada hubungan politik yang stabil dan kuat," demikian Eva Kusuma Sundari.

(D011/S024)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011