Oleh Ella Syafputri Jakarta (ANTARA News) - Samsu (30) adalah satu dari ribuan orang yang hatinya tengah berharap cemas. Apalagi kalau bukan ancaman PHK, menyusul rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang konon bisa mencapai 100 persen. Di tempatnya bekerja sekarang, yakni sebuah pabrik tekstil di kawasan Cileungsi Bogor, Jabar, Samsu bekerja sebagai buruh kontrak dengan upah sekitar Rp600 ribu per bulan. Bila dipotong dengan biaya hidup dan sewa rumah, jangankan berpikir tentang menabung, maka tidak berutang saja bagi pria asal Palembang itu sudah bersyukur. Kecemasan boleh jadi hal yang sangat wajar dan banyak melanda para tenaga kerja sejenis operator di pabrik. Mereka khawatir akan di-PHK karena perusahaan harus "mengencangkan ikat pinggang" menyusul biaya produksi yang melambung akibat naiknya harga TDL. Belum lama ini, pemerintah merencanakan kenaikan TDL untuk semua golongan pelanggan listrik dengan kenaikan tertinggi bagi industri menengah ke atas yakni hingga 100 persen lebih. PT PLN, pada Senin (23/1), mengajukan biaya pokok produksi (BPP) sebesar Rp1.052 per kWh alias setara dengan 11 sen dolar AS per kWh. Saat ini, rata-rata TDL yang dikenakan PLN ke pelanggan adalah Rp582 per kWh. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta usai rapat koordinasi tingkat menteri tentang TDL di Jakarta, Rabu (18/1), mengatakan kenaikan TDL itu direncanakan paling lambat Maret 2006. Suzetta mengungkapkan rencana kenaikan TDL untuk semua golongan pelanggan listrik dengan kenaikan tertinggi bagi industri menengah ke atas mencapai 100 persen lebih. Sedangkan bagi pelanggan listrik rumah tangga dengan daya antara 450-900 watt, skenario kenaikannya di bawah tujuh persen dan rumah tangga dengan daya di atas 1.000 watt sekitar 83 persen. Ia menegaskan melalui skenario tersebut, pemerintah tidak perlu menambah subsidi yang diberikan ke PT PLN (Persero) yakni Rp17 triliun, sesuai dengan APBN 2006. Kenaikan TDL itu bertujuan mengurangi tekanan defisit PLN, karena makin besar defisit makin besar pula subsidi pemerintah. Bila tidak TDL tidak dinaikkan, pemerintah kemungkinan besar harus membantu Rp38,5 triliun untuk PLN, bukan Rp17 triliun, akibat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang naik per 1 Oktober 2005. Pertanyaan yang kemudian muncul dari keinginan pemerintah menaikkan harga TDL adalah mengapa TDL harus dinaikkan? Menurut data PLN, saat ini perusahaan milik negara tersebut masih sangat mengandalkan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar berupa BBM, yakni sekitar 30 persen. "Tingginya penggunaan pembangkit BBM itu membuat biaya produksi juga masih tinggi," kata Sekretaris Perusahaan PLN, Harry Jaya Pahlawan. Masih berdasarkan data PLN, pada 2004 biaya bahan bakar pembangkit listrik bersumber BBM mencapai Rp15,8 triliun, sementara batu bara Rp3,56 triliun, gas Rp3,75 triliun, dan panas bumi Rp936 milyar. Pada 2006 ini, PLN menargetkan untuk mengurangi komposisi pembangkit berbahan bakar mahal tersebut menjadi 18 persen saja. Sedangkan pembangkit non-BBM yang murah, yakni batu bara mencapai 43 persen, gas 24 persen, hidro 10 persen, dan panas bumi lima persen. Pada 2010 mendatang, komposisi pembangkit BBM diharapkan hanya empat persen, sedangkan batu bara naik menjadi 46 persen, gas 34 persen, hidro 10 persen, dan panas bumi 6 persen. Efek Domino Kenaikan TDL berefek domino, dampaknya mempengaruhi nyaris semua sektor kehidupan. Dikutip dari hasil penelitian dampak penghapusan subsidi listrik terhadap kinerja sektor riil yang dilakukan Agunan P. Samosir, kenaikan TDL akan segera ditanggapi oleh sektor industri dengan rasionalisasi karyawan (PHK). Dengan melakukan PHK, terutama untuk karyawan bagian produksi (buruh), maka perusahaan bisa melakukan penghematan dalam hal upah. Penghematan ini akan mengurangi biaya produksi (biaya tenaga kerja) sehingga akan mengurangi pos pengeluaran dan bisa dialihkan untuk menambah pos biaya listrik. Selain itu, perusahaan juga akan mengoptimalkan jam kerjanya. Tidak lagi menerapkan jam lembur, supaya menghemat pengeluaran uang lembur dan listrik usai jam kerja biasa. Dampak yang juga sangat signifikan, masih menurut Agunan, adalah menurunnya margin keuntungan karena harga jual kepada konsumen tidak bisa dinaikkan sementara biaya produksi mengalami peningkatan. Bahkan keuntungan masih harus dipangkas karena harga bahan baku lokal ikut naik dengan rata-rata kenaikan 10-15 persen. Bisa saja perusahaan tidak melakukan rasionalisasi karyawan tetapi membiarkan marjin keuntungannya menurun. Akan tetapi hal ini tidak akan mampu bertahan lama karena pengusaha, terutama penanam modal asing, akan berpikir bahwa investasi di Indonesia tidak akan menguntungkan sehingga ada kecenderungan untuk mengalihkan atau memindahkan investasinya ke luar negeri. Apabila hal ini, terjadi maka iklim investasi di Indonesia akan terganggu dan dunia usaha bakal semakin mengalami kemunduran, jelas Agunan. Berbicara tentang daya saing industri lokal dibandingkan dengan industri luar negeri, kenaikan harga TDL sudah tentu mengurangi tingkat kemampuan saing atau harga jual produk. Untuk efek dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan kenaikan TDL sebesar 30 persen akan memberikan kontribusi kepada tingkat inflasi sebesar satu persen. Pengamat ekonomi dari Tim Indonesia Bangkit (TIB), Hamonangan Ritonga, bahkan memperkirakan jika kenaikan TDL mencapai 100 persen maka sumbangan inflasi bisa menyentuh titik 5 persen. Inflasi merupakan salah satu dampak upaya bertahan sektor industri. Mereka meningkatkan harga jual produk di pasar lokal. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh perusahaan lokal karena tidak ada kontrak pesanan dengan pembeli di luar negeri. Dengan melakukan penghitungan ulang terhadap biaya produksi maka perusahaan bisa menaikkan harga jualnya sesuai dengan kenaikan biaya. Tindakan ini lebih cenderung berhasil jika konsumen juga mengalami peningkatan kemampuan daya beli. Namun kenyataan yang ada sekarang ini, walaupun daya beli konsumen meningkat akan tetapi mereka juga harus menyesuaikan diri dengan kenaikan harga kebutuhannya, misalnya kenaikan TDL untuk rumah tangga, kenaikan BBM, dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok. "Secara makro, dampak kenaikan TDL -sebagai konsekuensi dari penurunan rata-rata subsidi listrik- mempunyai arah yang negatif. Hal itu terlihat pada menurunnya pertumbuhan ekonomi riil (GDP riil), menurunnya tingkat kesempatan kerja, dan meningkatnya laju inflasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari menurunnya sektor produksi akibat naiknya ongkos produksi (cost of production)," jelas Agunan. Alternatif Meskipun gejala kenaikan TDL terus menguat beberapa hari belakangan ini, pemerintah berjanji mengupayakan besaran kenaikan TDL serendah mungkin, sehingga tidak menambah berat beban masyarakat setelah kenaikan BBM pada Oktober 2005. "Pemerintah terus melakukan kajian agar kenaikan TDL bisa seminimal mungkin," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, Rabu (25/1). Menurut dia, sejumlah upaya yang bisa dilakukan guna menekan kenaikan TDL antara lain menghitung kembali apakah memang benar defisit PT PLN mencapai Rp38,5 triliun, apakah asumsi harga BBM bisa diturunkan, dan menghitung kembali kebutuhan margin serta investasi PLN. "Soal investasi, apakah menjadi tanggungan pemerintah atau dibagi dua dengan PLN dan apakah harus dilakukan pada tahun ini juga," katanya. Upaya lain, lanjutnya, adalah mengoptimalkan pemanfaatan pembangkit listrik non-BBM dan melihat seberapa jauh beban anggaran pemerintah. Menurut Purnomo, pada tahun ini, sejumlah pembangkit listrik non-BBM dengan kapasitas daya sekitar 3.000 MW akan mulai beroperasi dan memperkuat sistem pembangkitan. Di Jawa, katanya, ada empat pembangkit listrik non-BBM dengan kapasitas total 2.770 MW akan mulai beroperasi dan di luar Jawa sebesar 300 MW. Selain itu, pasokan gas dari PT PGN Tbk ke PLTGU Muara Tawar berkapasitas 800 MW juga akan mulai masuk akhir tahun 2006, sehingga akan mengurangi pemakaian BBM. "Semua upaya itu sedang kita kaji. Kita tidak mau sembarangan. Aspek yang kita lihat tidak hanya PLN, tapi juga masyarakat dan anggaran pemerintah," katanya. Purnomo juga mengungkapkan, pemerintah akan menerima semua masukan skenario kenaikan TDL, seperti dari Bank Indonesia (BI) yang meminta kenaikan tidak lebih dari 30 persen. "Para menteri juga belum satu suara. Jadi, masih terlalu pagi kalau dikatakan naiknya berapa," katanya, "Apalagi subsidi listrik yang ada sebesar Rp15 triliun masih dapat mencukupi kebutuhan PLN dalam 3-4 bulan pertama 2006." Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, menyebutkan PLN dapat meningkatkan pendapatan tanpa harus menaikkan TDL. Ia menyebutkan tingkat kerugian PLN akibat tindak pencurian aliran listrik saat ini cukup tinggi, yakni di atas 10 persen. "Tetapi tingkat kerugian itu bisa ditekan satu digit menjadi 8-9 persen saja, sehingga tidak perlu menaikkan TDL," ujarnya. Menurut Sudaryatmo dengan menurunkan tingkat kerugian maka secara otomatis pendapatan PLN juga akan bertambah dibandingkan sebelumnya. Selain menurunkan tingkat kerugian, Sudaryatmo, juga mendesak PLN untuk mengumumkan para penunggak rekening listrik. "Kalau penunggaknya pejabat, kompleks militer, kalangan pengusaha, dan lain sebagainya maka publikasikan saja nama-namanya," tukas dia. Sementara itu, pengamat ekonomi dari Tim Indonesia Bangkit, Dradjad Wibowo mengatakan dirinya tidak menyetujui kenaikan TDL, bahkan hingga besaran 60 persen. "Kenaikan minimal 60 persen pun tidak akan cukup menutupi potensi `bleedingnya` PLN," kata Drajad. Ia mengusulkan PLN seharusnya lebih menekankan optimalisasi penerimaan dan efisiensi proses distribusi. "Karena kehilangan penerimaan PLN ini dugaan saya jauh lebih besar, tapi sulit dihitung karena praktik `ekonomi gelap`," tuturnya. Drajad memperkirakan ada sekitar 30-40 persen dari total kewajiban yang harus dibayarkan sebuah perusahaan yang tidak disetor. "Tinggal masalahnya apakah bisa secara efektif mengoptimalkan penerimaan yang akan menolong PLN. Kalau tidak, PLN akan tetap `bleeding`," demikian Dradjad. (*)

Copyright © ANTARA 2006