Surabaya (ANTARA) - Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto menilai pemerintah kurang serius mewujudkan swasembada kedelai yang telah dicanangkan, akibatnya gejolak komoditas itu selalu terjadi setiap tahun.

"Harusnya tidak akan terulang kembali jika pemerintah serius dalam mewujudkan program swasembada kedelai dalam negeri. Padahal swasembada pangan adalah hal mutlak yang harus dicapai sebuah negara untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri," kata Adik di Surabaya, Senin.

Ia mengatakan, saat ini harga kedelai impor kembali melonjak menjadi Rp11.000 per kilogram dari harga normal Rp 9.000 per kilogram. Akibatnya, terjadi gejolak pada perajin tahu dan tempe hingga mereka melakukan aksi mogok produksi.

Baca juga: Mendag: Harga kedelai tinggi dipengaruhi El Nina di Amerika Selatan

Seharusnya, kata Adik, komitmen mewujudkan swasembada kedelai diwujudkan dengan membuat peta besar peningkatan produksi kedelai nasional secara terukur. Namun, dari data yang ada menunjukkan produksi kedelai dalam negeri justru terus menurun.

Di Jawa Timur misalnya, pada tahun 2018 produksi kedelai Jatim mencapai sekitar 240 ribu ton, tahun 2019 turun menjadi sekitar 120 ribu ton. Dan di tahun 2020 produksi kedelai bertambah turun menjadi 57.235 ton, padahal konsumsi kedelai Jatim tahun 2020 mencapai mencapai 447.912 ton.

"Artinya, program swasembada kedelai yang didengung-dengungkan pemerintah tidak jalan. Produksi kedelai justru semakin turun dan defisit kian tinggi. Harusnya, pemerintah memiliki strategi yang terukur melalui peningkatan produksinya dalam negeri setiap tahun," ujarnya.

Apalagi, kata dia, Indonesia memiliki balai penelitian yang harusnya mampu menemukan varietas kedelai yang bisa ditanam di negara tropis dengan tingkat produktivitas tinggi.

Baca juga: Pengamat: Pemerintah perlu diversifikasi sumber impor kedelai

"Pertanyaan saya, dalam situasi yang sampai sekarang belum mencapai swasembada kedelai, apakah balai penelitian tersebut sudah menemukan varietas yang seperti itu melalui rekayasa genetika?," kata Adik, bertanya.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang ini mengatakan, sebenarnya di Jember ada satu perusahaan lokal yang berhasil mengembangkan kedelai dengan kualitas dan produktivitas yang hampir menyerupai kedelai impor.

"Kedelai ini kan tanaman tropis, sehingga produktivitas rendah jika ditanam di Indonesia. Jika di Amerika produktivitas tanaman kedelai bisa mencapai 5 ton per hektare, maka di Indonesia produktivitas hanya mencapai 1,3 ton hingga 1,5 ton per hektare. Dengan rekayasa pembenihan, produktivitas benih kedelai yang dihasilkan oleh perusahaan lokal di Jember ini bisa mencapai 3 ton hingga 3,2 ton per hektare," katanya.

Namun, dukungan dari pemerintah menyebarluaskan hasil produksi Jember masih belum terlihat, dan harusnya dari varietas yang ditemukan itu ada upaya kerja sama dan dukungan dengan membuat demplot varietas kedelai tersebut di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

"Dari sini, pemerintah harus memberikan pendampingan serius agar petani mau dan paham bagaimana menanam kedelai dengan baik. Karena jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka saya yakin kita akan sepenuhnya ketergantungan pada kedelai impor," katanya, menegaskan.

Pewarta: A Malik Ibrahim
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022