Kairo (ANTARA News) - Pengakuan Liga Arab, sejumlah negara dan berbagai organisasi internasional terhadap pemberontak Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya, setelah ibu kota Tripoli sebagian besar dikuasainya, makin menjepit kekuatan dan keberadaan Presiden Muamar Gaddafi.

Sekretaris Liga Arab, Nabil Al Arabi, pada Senin (22/8) menyatakan bahwa Perwakilan Tetap Libya di organisasi regional beranggotakan 22 negara Arab itu akan segera diserahkan kepada NTC.

Menurut Al Arabi, Duta Besar NTC untuk Mesir, Abdel Muneim Al Houni -- mantan Dubes Libya untuk Mesir dan Liga Arab -- akan diikutsertakan dalam Pertemuan Tingkat Wakil Tetap Liga Arab sebagai pengakuan atas eksistensi NTC.

Menteri Luar Negeri Mesir, Mohamed Kamil Amr, juga menyatakan pengakuan Mesir atas NTC sebagai penguasa transisi Libya.

Amr menegaskan bahwa Kedutaan Libya di Kairo kini diambil alih oleh utusan Dewan Transisi Nasional tersebut.

Dukungan serupa diutarakan sejumlah negara anggota Liga Arab, termasuk Tunisia, Qatar, Sudan dan Maroko.

Selain Liga Arab, banyak pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, yang menyatakan riwayat Gaddafi tinggal menghitung hari.

Pemimpin nyentrik yang telah berkuasa selama 42 tahun itu dikabarkan masih berada di Tripoli bersama beberapa anggota keluarganya, sementara itu anak-anaknya, termasuk Saiful Islam sempat dikabarkan ditangkap pasukan pemberontak.

Hanya saja, Saiful membuat kejutan dengan kemunculannya di hadapan publik Tripoli, dan mendapat liputan media massa internasional, sekaligus menepis informasi bahwa dirinya ditawan pemberontak.

Gaddafi di kompleks perumahan Bab Al Aziziya di pusat ibu kota yang sejak gempuran NATO menjadi pusat komandonya, praktis kini dikepung oleh kekuatan pemberontak sejak Ahad (21/8).

Kepungan pasukan pemberontak itu sulit memungkinkan Gaddafi keluar dari Tripoli. Tertutup sudah kemungkinan sang kolonel yang suka berbusana badui itu untuk melarikan diri ke pengasingan di luar negeri.

Namun, berbagai pihak meminta agar berhati-hati dalam mendekati kompleks kediaman Gaddafi yang dijaga ketat oleh tentara-tentara setianya yang bersenjata berat, untuk menghindari pertumpahan darah lagi.

Ratusan orang Libya yang tinggal di Khartoum merobek foto-foto Gaddafi yang digantung di kantor-kantor kedutaan dan mencampakkannya ke jalan-jalan.

Massa Libya yang marah itu juga mengumumkan bahwa mereka telah mengambil-alih kedutaan besar Libya di Khartoum.

Di Ankara, ibukota Turki, warga Libya menurunkan bendera simbol kekuasaan rezim Gaddafi dan menyorakkan yel-yel kemenangan.

Semua warga Libya yang tinggal di luar negeri larut dalam kegembiraan, seperti halnya mereka yang berada di Tripoli, dan kota-kota lainnya di negara Afrika utara itu.

Sementara itu, kabinet Mesir mengeluarkan petunjuk-petunjuk kepada menteri luar negeri agar melanjutkan kontak-kontak dengan NTC dan mendukung proses pemulihan stabilitas dan keamanan di Libya.

Di Tunis, Perdana Menteri sementara Tunisia, Beji Caid Essebsi, menyampaikan ucapan selamat kepada rakyat Libya atas kemenangan di jalan menuju kemerdekaan dan martabat bangsa.

PM Beji melakukan pembicaraan per telepon dengan Mahmoud Jibril, ketua biro eksekutif NTC, dan menandaskan perlunya dijalin hubungan erat antara kedua negara.

Pemerintah Sudan menyatakan dukungan kepada rakyat Libya dan gerakan mereka dalam melewati tahap-tahap kritis dalam sejarah negara itu, dan mengucapkan selamat atas kemenangan rakyat Libya.

Khartoum menyatakan kesediaannya untuk memberikan semua bantuan guna melewati tahapan kritis itu, dan pembangunan kembali negara mereka untuk menjamin keselamatan, keamanan dan persatuan rakyat Libya.

Khartoum juga mengatakan keyakinannya bahwa rakyat dan pemimpin baru Libya akan mampu membangun satu negara persatuan yang bebas, dan dalam mengatasi semua bentuk konspirasi yang akan merusak persatuan mereka.

Pangkalan NATO

Meskipun sejak Maret 2011 pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) atas persetujuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membantu NTC menggempur pasukan Gaddafi, organisasi militer terkuat dunia itu tidak akan diberi akses membuat pangkalan di Libya.

Dubes NTC untuk Mesir dan Liga Arab, Al Houni, menegaskan bahwa tidak akan ada pangkalan NATO di Libya setelah Gaddafi dienyahkan.

Pernyataan tersebut didukung oleh Sekretaris Jenderal Liga Arab, Nabil Al Arabi, yang juga mengatakan bahwa rakyat Libya tidak lagi membutuhkan pasukan asing pasca-tumbangnya Qaddafi.

Arabi juga mengimbau kepada semua kekuatan di Libya untuk memberikan keamanan, stabilitas dan keselamatan kepada penduduk Libya maupun warga negara asing yang tinggal di sana, terutama pada saat-saat genting sekarang ini.

Di Brussels, Belgia, Uni Eropa (UE) dari ibukotanya itu menyambut kemajuan yang dicapai pasukan oposisi Libya, dan menyerukan perlindungan terhadap rakyat sipil.

Mereka juga menyerukan kepada pemimpin Libya yang diperangi, Muamar Gaddafi, agar menghentikan semua pertempuran dan mengundurkan diri.

Dengan upaya yang tak ada henti-hentinya dari pasukan baru Libya, didukung pasukan NATO dan beberapa negara anggota UE, serta negara-negara lainnya menggempur kekuatan Gaddafi, sehingga kini rezim Gaddafi berada di posisi senja kala.

"Kami mendesak Kolonel Gaddafi untuk menerima keinginan rakyatnya, segera mundur, dan menghindari pertumpahan darah lebih lanjut," kata Presiden Dewan Eropa, Herman van Rompuy.

Anggota UE juga meminta sisa-sisa tentara yang setia kepada Gaddafi segera menyerahkan senjata mereka.

Barack Obama menegaskan, rezim Gaddafi hampir berakhir, dan masa depan rakyat Libya kini berada di tangan rakyat Libya sendiri.

Obama menegaskan bahwa Washington akan menjadi sahabat dan mitra negara yang dilanda perang itu, yang ke depan akan menghadapi sejumlah besar tantangan.

Sementara itu, Al Houni di Kairo pada awal pekan ini mengatakan nasib Gaddafi tinggal beberapa jam lagi akan ditangkap hidup-hidup untuk dihadapkan ke pengadilan yang adil.

"Gaddafi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan mahkamah," kata Al Houni merujuk pada penetapan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) terhadap Gaddafi atas tuduhan kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia.

Selain Gaddafi, penetapan ICC serupa juga terhadap putranya, Saiful Islam, dan Kepala Intelijen Libya, Abdullah Al Sanusi.
(T.M043/H-AK)

Oleh Munawar Saman Makyanie
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011