Bandung (ANTARA) - Pakar dari Program Studi Sastra Rusia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Supian, menilai konflik bersenjata setelah adanya serangan militer Rusia ke Ukraina sebetulnya bisa diredam dengan budaya.

Menurutnya Rusia dan Ukraina layaknya seperti Indonesia dan Malaysia. Karena itu, secara karakter masyarakat dan bahasa, Rusia-Ukraina tidak jauh berbeda.

Baca juga: Goldman perkirakan harga komoditas Rusia naik karena krisis Ukraina

"Ini sangat disayangkan terjadi konflik kakak-adik. Hal ini bisa diredamkan dengan budayanya sendiri," kata Sopian di Bandung, Jawa Barat, Senin.

Supian yang pernah tinggal selama tujuh tahun di Moskow dan Voronezh di perbatasan Rusia-Ukraina, menyebut banyak warga negara Ukraina yang sehari-hari sekolah ataupun bekerja di Rusia.

Baca juga: Pengunjuk rasa Rusia: "Maafkan Kami", Ukraina

Dua di antaranya berasal dari Provinsi Donestk dan Provinsi Luhansk, wilayah di Ukraina yang akhirnya diakui kedaulatannya oleh Rusia. Setiap akhir pekan, kata dia, mereka yang beraktivitas di Rusia mudik ke Ukraina. "Secara kekerabatan masyarakat, sebenarnya tidak ada masalah. Sampai sekarang pun masyarakat Rusia dan Ukraina biasa saja,” katanya. Warga Ukraina etnis Rusia banyak bermukim di sana sejak dulu.

Ia menilai, ada kemungkinan konflik Rusia-Ukraina itu akan berakhir di meja perundingan. Menurutnya sejarah telah membuktikan bagaimana diplomat Uni Soviet mampu menghindarkan konflik perang nuklir pada 1962.

Baca juga: Kabar terkini krisis Ukraina, dari siaga nuklir hingga protes di Rusia

“Ada satu moto yang dipegang teguh para diplomat Rusia-Ukraina hingga saat ini, yaitu ‘lebih baik 10 tahun berunding daripada satu hari berperang’. Slogan ini jadi kurikulum wajib calon diplomat,” kata dia.

Dari sejarah ini dia menyebut Rusia dan Ukraina selayaknya saudara kandung yang tidak bisa dipisahkan. Karena, kata dia, konflik terjadi akibat geopolitik di Eropa Timur. “Saya yakin konflik ini akan berakhir di meja perundingan,” katanya.

Baca juga: Rusia superior tapi tahankah dari sanksi yang kian keras?

Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2022