Jakarta (ANTARA) - Komisi Perempuan Indonesia (KPI) mendorong pemerintah dan parlemen untuk memposisikan perempuan tidak sebagai konsumen energi melainkan sebagai produsen energi karena kehidupan perempuan lekat dengan aktivitas rumah tangga.

"Selama ini perempuan hanya ditempatkan sebagai konsumen energi. Padahal seharusnya ada kesempatan bagi perempuan di rumah untuk memproduksi energi dan menggunakannya sendiri," kata Presidium Nasional KPI Kelompok Kepentingan Perempuan Petani Dian Aryani dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Selasa.

Dian menjelaskan bahwa penggunaan jenis energi akan berpengaruh terhadap produktivitas dan hidup perempuan. Jenis energi yang sarat emisi dan polusi akan berdampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan perempuan, terutama di daerah 3T di Indonesia.

Dari sisi kebijakan energi, KPI meminta agar dibuat kebijakan pengembangan energi bersih terbarukan yang terjangkau di tingkat lokal dibandingkan mengandalkan energi fosil dan nuklir.

Baca juga: Dirut Pertamina raih peringkat 17 perempuan paling berpengaruh dunia

Baca juga: Dian dobrak stereotip perempuan di industri energi dan petrokimia


Dian menyayangkan perempuan yang sering kali tidak dilibatkan dan dilatih dalam pengembangan energi baru terbarukan. Ia juga memandang terminologi energi baru terbarukan kurang tepat.

Menurutnya, ketimbang mengembangkan energi baru lebih baik Indonesia berfokus dalam memanfaatkan energi bersih yang tidak mengandung polutan dan bersifat terbarukan.

Keberadaan pasal yang mengatur perlindungan inisiatif masyarakat dalam membangun, mengembangkan, dan memanfaatkan energi bersih terbarukan menjadi penting terutama untuk skala rumah tangga dan skala komunitas yang bersifat non komersial.

“Selain itu, pemerintah perlu menerapkan pengarusutamaan gender dalam kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengembangan energi baru terbarukan,” tambahnya.

Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Maftuh Muhtadi mengakui bahwa perempuan masih dipandang sebagai konsumen utama listrik.

“Selama ini pengelolaan energi selalu dilekatkan dengan tanggung jawab perempuan terkait peran domestiknya. Konsumsi energi cenderung belum efisien dan peran perempuan penting untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan energi,” kata Maftuh.

Menyoroti masih adanya porsi energi fosil di Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dalam bentuk hilirisasi batu bara, Maftuh tidak bisa 100 persen menolak energi fosil. Menurutnya, hal terpenting adalah memastikan produksi, distribusi, konsumsi energi mempunyai efek negatif yang sedikit.

Di sisi lain, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Mohamad Yadi Sofyan Noor memandang bahwa memasukkan nuklir dalam RUU EBT tidak tepat karena berpotensi memberikan dampak negatif pada ekonomi petani dan nelayan.

“Pembangunan PLTN meningkatkan risiko bagi petani dan nelayan karena PLTN menyerap dana besar dengan kemungkinan alokasi dari program-program lain, seperti ketahanan pangan, lahan yang dibutuhkan cukup luas, sehingga mengancam akses dan aktivitas ekonomi para petani dan nelayan," kata Sofyan.

"Risiko kecelakaan PLTN ditanggung langsung oleh para petani dan nelayan yang berada di sekitar PLTN," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan dewan pakar dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Rinaldy Dalimi menyebutkan keberadaan nuklir dalam RUU EBT justru akan menyulitkan pembangunan dan pengusahaan energi terbarukan.

“RUU EBT jika dikaji dengan lebih mendalam, tidak akan disahkan dalam waktu dekat sebab setidaknya pemerintah pusat harus mempertimbangkan membangun lima lembaga baru, dan harus menyediakan beragam insentif dan tempat pembuangan limbah radioaktif,” ucap Rinaldy.

Lebih lanjut ia berpendapat akan tiba masa saat semua orang mampu menghasilkan energinya sendiri, sehingga urusan energi bukan urusan pemerintah lagi melainkan akan menjadi urusan rumah tangga. Dengan demikian, maka peran perempuan akan menjadi krusial dalam mengurus sektor energi.

Saat ini, RUU EBT telah diserahkan oleh DPR RI kepada Badan Legislasi untuk masuk ke tahap harmonisasi. Namun, aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat seperti kelompok perempuan dan juga masyarakat di daerah 3T serta pendekatan jender dirasa belum terefleksi dan terjawab dari RUU EBT tersebut.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menginformasikan RUU EBT sudah dapat disahkan dalam tiga bulan ke depan. Ia juga menyatakan parlemen mendorong pengembangan energi terbarukan sebagai suatu keharusan di tengah tantangan kekuatan politik besar yang masih condong ke energi fosil.

Menurutnya, partisipasi seluruh pihak terkait termasuk keterlibatan perempuan telah dilakukan proses pembuatan RUU EBT.

Adapun menanggapi perihal nuklir dalam RUU EBT, meski menyatakan terbuka untuk setiap usulan dan masukan, namun Sugeng berulang kali menjelaskan bahwa nuklir menjadi salah satu pilihan teknologi yang minim emisi.*

Baca juga: Perempuan Golkar: RUU EBT langkah konkret atasi masalah krisis iklim

Baca juga: Perempuan dinilai berperan besar dalam transisi energi

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022