Roma (ANTARA News/AFP) - Perdana Menteri (PM) Italia, Silvio Berlusconi, pada Jumat waktu setempat (Sabtu WIB) menyatakan bahwa pemimpin terguling Moamar Gaddafi dicintai rakyatnya, dan pemberontakan di Libya, yang menumbangkannya, bukan perlawanan rakyat.

"Itu bukan pemberontakan rakyat seperti di negara lain Afrika utara, tempat angin kebebasan mulai bertiup," katanya kepada pendukung muda partai Rakyat Bebas-nya, yang berkumpul di Roma.

"Kelompok orang kuat memutuskan memberi hidup kepada zaman baru dengan mengusir Gaddafi," katanya.

"Itu bukan pemberontakan rakyat, karena Gaddafi dicintai rakyatnya, seperti saya lihat ketika ke Libya," katanya.

Italia adalah bekas penjajah Libya dan menikmati hubungan dekat ekonomi dan diplomatik dengan Gaddafi, sebelum kemelut itu dan bergabung dengan gerakan melawan pemimpin tersebut.

Kepada pendukung partai itu, ia mengatakan bahwa memperkuat kedudukan negara itu di Libya "penting untuk pasokan minyak dan gas".

Eni, tempat Italia memegang sepertiga saham, sebelumnya penghasil utama asing hidrokarbon di Libya.

Untuk menjaga keadaan itu, Roma baru-baru ini menandatangani kesepakatan dengan penguasa baru Libya.

Afrika Bersatu mengecam serangan rasis di Libya pada Rabu dan kepala pelaksananya mendesak pemerintah baru pemberontak menjauh dari kekerasan.

Ketua Komisi AU (Uni Afrika), Jean Ping, menyatakan bahwa banyak anggota Uni Afrika belum mengakui Dewan Transisi Negara (NTC) sebagai pemerintah sah Libya akibat laporan kekerasan benci-hitam.

Mantan pemimpin Libya, orang kuat terguling Muamar Gaddafi, menyewa banyak orang Afrika sub-Sahara untuk angkatan bersenjatanya, dan sejak pasukan pemberontak menguasai Tripoli pada bulan lalu, muncul laporan tentang penindasan terhadap warga berkulit hitam.

"Warga berkulit hitam dibunuh. Leher mereka digorok. Mereka dituduh menjadi tentara bayaran. Apakah Anda pikir normal di negara dengan sepertiga warga berkulit hitam, orang hitam dirancukan dengan tentara bayaran?" kata Ping.

Pengamat dunia, seperti Pengawas Hak Asasi Manusia dan Amnesti Internasional serta lembaga media mendapatkan laporan pendatang Afrika dan penduduk di Libya dibunuh dalam serangan rasis.

"Ada tentara bayaran di Libya. Banyak di antara mereka hitam, tapi tidak hanya berkulit hitam dan tak semua orang hitam tentara bayaran. Kadangkala, jika berkulit putih, mereka menyebut diri penasihat teknis," kata Ping.

Mantan penguasa Gaddafi mempekerjakan tentara bayaran dari Serbia serta Kroasia dan pasukan pemberontak, yang menggulingkannya, didukung petugas dan pasukan khusus dari Prancis dan Inggris, termasuk "beberapa" dari unsur swasta.

Ping penyeru NTC memisahkan diri dari gerombolan pelaku penggantungan jika mengharapkan lebih banyak negara Afrika membarui hubungan.

Banyak anggota AU bersekutu dengan pemerintah Gaddafi dan beberapa di antaranya marah pada keterlibatan persekutuan pertahanan Atlantik utara NATO dalam penggulingannya, dengan meyakini bahwa masalah Afrika harus diselesaikan orang Afrika.

Ia memperingatkan bahwa pemberontakan itu membuat Libya guncang dan sejumlah besar senjatanya dijarah penjahat dan penyelundup.

"Afrika menjadi wilayah persinggahan senjata. Ke mana senjata itu pergi? Senjata canggih berlabuh di Palestina. Itu yang dikatakan menteri luar negeri Palestina kepada saya," katanya.

Peran beberapa negara anggota NATO membantu pemberontak Libya menggulingkan Moamar Gaddafi menempatkan persekutuan itu dalam keadaan canggung setelah penolakan berulang bahwa kelompok tersebut bekerja sama dengan pemberontak.
(Uu.B002/H-RN)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011