Palembang (ANTARA) - Peneliti menemukan pewarna alami berasal dari daun-daun, akar hingga kulit kayu yang dapat digunakan untuk kain khas asal Sumatera Selatan, Kain Jumputan.

Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Oom Kemala Sari mengatakan salah satu yang sedang diteliti yakni penggunaan daun tanaman jenis begonia dan daun seduduk untuk menghasilkan warna hitam dan krem.

“Banyak yang kami coba, tapi yang baru ada dua yakni daun tanaman begonia dan seduduk,” kata Oom di Pusat Penelitian Kebun Raya Sriwijaya, Kabupaten Ogan llir, Sumsel, Kamis.

Begonia merupakan sejenis tanaman hias yang saat ini sedang digandrungi masyarakat. Tanaman ini umumnya memiliki daun berwarna merah atau kombinasi dengan warna hijau.

Dalam risetnya ini, ia memilih jenis begonia yang berdaun merah (satu warna).

Sedangkan daun seduduk didapatkan dari tanaman seduduk yakni sejenis tanaman perdu yang tingginya hanya berkisar 0,5 meter. Tanaman ini sangat dikenali di Sumsel terutama di kawasan gambut karena biasanya tumbuh liar di lokasi tersebut.

“Kami sengaja meneliti tanaman-tanaman yang biasa tumbuh di Sumsel, dengan maksud jika mau digunakan oleh pembuat kain maka mudah didapatkan,” kata dia.

Seperti penggunaan daun seduduk ini, ia melanjutkan, diharapkan dapat menumbuhkan semangat pelestarian lingkungan karena keberadaannya yang tumbuh subur di kawasan bergambut. Kawasan gambut Sumsel kerap menjadi sorotan karena sering terbakar di saat musim kemarau.

Sejauh ini, bahan-bahan pewarna alami ini sangat dibutuhkan untuk keperluan pewarnaan Kain Jumputan.
 
Kain Jumputan berbahan pewarna alami di salah satu ruang pameran Kebun Raya Sriwijaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, Kamis (10/2/22). (ANTARA/Dolly Rosana)



Peminat kain berbahan pewarna alami ini semakin meningkat seiring dengan tren masyarakat dunia yang ingin kembali ke produk berbahan alami.

Sebelumnya, peneliti di Kebun Raya Sriwijaya ini juga telah menggunakan kulit batang akasia, kayu tegaran, kulit kayu secang, kulit kayu tingi, kulit buah jelawe, daun kopi liberika.

Bahan dari kulit kayu dan daun itu dapat digunakan menjadi pewarna alami dengan cara direbus dengan air dalam beberapa waktu.

Saat air rebusan sudah berkurang hingga separuh dari takaran awal maka sudah bisa digunakan untuk pewarnaan.

Sri Wahyuni, pelaku usaha Kain Jumputan di Lorong Sawah, Kelurahan Tuan Kentang, Palembang, Sumatera Selatan, mengatakan dirinya sangat berminat menggunakan pewarna alami karena pasarnya mulai terbuka.

Namun, sejauh ini total produksinya masih didominasi oleh penggunaan pewarna tekstil.

“Sudah ada yang pesan kain pakai pewarna alami tapi belum banyak. Satu atau dua lembar kain saja per bulan, biasanya saya pakai daun secang dan getah gambir,” kata dia.

Proses penggunaan pewarnaan alami relatif lebih lama dibandingkan pewarnaan menggunakan zat kimia. Setidaknya dibutuhkan waktu satu minggu agar warna yang dihasilkan benar-benar sudah “mengunci”.

Konsumen pun sudah mengetahui jika harganya dua kali lipat lebih mahal dibandingkan yang menggunakan pewarna tekstil.

“Banyak yang suka, selain alami juga warna yang muncul bagus, tidak terlalu mencolok, kesannya lembut,” kata dia.

Baca juga: BRGM bina pembatik manfaatkan limbah mangrove untuk pewarna alami
Baca juga: Pengusaha tekstil Buleleng-Bali kembangkan pewarna alami
Baca juga: Ulos Silahisabungan usung konsep bahan pewarna alami

 

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022