Tangis bayi Siti Rahmah terdengar keras dari dalam kotak inkubator yang terbuat dari plastik bening di RS Ibnu Sina, Pekanbaru, Riau, Jumat (16/9) lalu.

Nasib malang membawa bayi itu terpisah dari keluarganya, jauh dari peluk hangat ayahnya dan belum setetes pun merasakan susu dari bundanya.

Putri pertama dari pasangan Khairuddin dan Diana itu lahir dengan kelainan jantung. Organ vital milik bayi Siti Rahmah menjuntai keluar dari rongga dadanya. Sebuah pemandangan yang memilukan dan menyayat hati setiap orang yang melihatnya.

Kini selang oksigen dan infus seakan "tumbuh menjalar" di tubuh mungil itu, karena hidup si bayi malang sangat bergantung dengan alat bantuan medis. Sedangkan, jantung mungilnya yang sebesar jambu air terlihat berdegup cukup cepat meski ditutupi dengan kain kasa.

Siti Rahmah lahir lewat persalinan normal meski tanpa fasilitas kesehatan yang layak di rumah orang tuanya di Desa Muara Basung, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Riau, pada 12 September lalu. Keluarganya sangat miskin hingga hanya mampu menggunakan jasa dukun kampung.

Khairuddin, ayah si bayi malang, hanya seorang buruh yang bekerja serabutan untuk menopang hidup keluarganya. Ia juga tak punya cukup uang untuk memeriksakan kondisi bayi Siti Rahmah saat masih dalam kandungan.

"Saya baru tahu kondisi anak saya ketika ia dilahirkan," ujar Khairuddin.

Pria kurus itu kini hanya bisa berharap mukjizat dari Tuhan dapat menolong putrinya. Ia mengaku tak tega melihat kondisi Siti Rahmah, meski ia sendiri tak mau berpisah jauh dari bayinya.

Persalinan
Khairuddin kini tinggal untuk sementara di sebuah lorong di sudut ruangan RS Ibnu Sina selama anaknya menjalani perawatan. Di lorong yang gelap itu juga Khairuddin selalu terkenang peristiwa kelahiran putrinya yang malang.

"Waktu melahirkan, dukun kampung menyembunyikan bayi saya dengan menelungkupkannya supaya bagian depan badan bayi tak keliatan ibunya," ujarnya Khairuddin.

"Sebagai ayah dari bayi itu tentu saya sangat sedih, apalagi itu adalah anak pertama saya," lanjut Khairuddin sambil berlinang air mata.

Di tengah rasa kalut, ia segera membawa bayinya ke RSUD Duri di Kabupaten Bengkalis namun pihak rumah sakit mengaku tak sanggup untuk merawat bayi Siti Rahmah. Akhirnya, bayi itu sempat menginap di RS swasta Permata Hati, Duri, sebelum pada esok harinya Khairuddin membawanya ke RSUD Arifin Achmad di Kota Pekanbaru dengan harapan segera mendapat perawatan yang memadai.

Namun, nasib baik belum kunjung menghampiri keluarga bayi Siti Rahmah. Khairuddin mengatakan pihak RSUD Arifin Achmad tak bisa menampung bayinya dengan alasan ruangan perawatan khusus untuk bayi (NICU) sudah penuh.

Sempat tersirat di benak Khairuddin, mungkinkah penolakan itu dikarenakan dirinya adalah seorang miskin. Padahal, ia sangat berharap pihak RSUD bisa membantu anaknya mendapat bantuan biaya kesehatan gratis untuk keluarga miskin melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

"Sampai satu jam saya di RSUD tapi tak juga mendapatkan layanan, akhirnya saya bawa ke rumah sakit Ibnu Sina demi keselamatan anak saya," keluhnya.

Lagi-lagi kabar buruk datang lagi ke Khairuddin ketika pihak RS Ibnu Sina menyatakan tak sanggup mengobati bayi Siti Rahmah. Dokter rumah sakit itu merekomendasikan bayi Siti Rahmah dibawa ke Jakarta atau Padang, dimana tenaga ahli dan peralatan medis lebih memadai.

"Saya masih berharap anak saya bisa normal, tapi duit dari mana saya bisa membawa anak saya berobat ke Jakarta atau Padang," kata Khairuddin dengan perlahan.


"Gelombang" Dukungan
Sepercik harapan akhirnya mulai menghampiri bayi Siti Rahmah. Gelombang dukungan hingga bantuan dana perlahan mulai berdatangan dari warga yang bersimpati terhadap nasib bayi Siti Rahmah.

Salah satunya adalah penggalangan dana melalui jejaring sosial Twitter yang meraih tanggapan cukup baik dari masyarakat.

"Dalam dua hari total donasi yang terkumpul sekitar Rp5 juta," kata Doddy Vladimir, penggagas donasi yang kebetulan adalah seorang jurnalis yang mengaku terdorong melakukan aksi sosial setelah meliput Siti Rahmah.

Dukungan dana lainnya juga datang dari sejumlah donatur dan manajemen RS Ibnu Sina yang berjanji membantu biaya pengobatan bayi Siti Rahmah selama di Pekanbaru.

Bahkan, dukungan juga datang dari Menteri Kesehatan Endang Rahayu Setyaningsih yang langsung menginstruksikan agar tim dokter spesialis dari Jakarta segera dikirim khusus untuk bayi Siti Rahmah. Alhasil, tiga dokter spesialis bedah jantung dan spesialis anak dari RS Harapan Kita, Jakarta, langsung datang ke Pekanbaru untuk mengecek kondisi dan mengupayakan tindakan penyelamatan bagi bayi Siti Rahmah.


Ikhtiar
Dr Totok Wisnu, dokter Spesialis Anak juga konsultan neonatologi di RS Harapan Kita mengatakan kasus yang menimpa bayi Siti Rahmah tergolong langka. Bayi tersebut didiagnosa mengalami "ectopic cordis" artinya jantung tidak berada di dalam rongga dada. Penyebabnya belum dipastikan, namun bisa diketahui bahwa pembentukan rongga dada tidak berlangsung sempurna saat bayi ada dikandungan. Dampak lain dari hal tersebut mengakibatkan paru-paru tak tumbuh dan penciutan pembuluh darah paru-paru (hipertansi polmonal).

Menurut dia, sekitar 90 persen dari organ jantung bayi itu menggantung ke bagian bawah di luar badan, hanya pembuluh darah besar yang berada di dalam rongga dadanya. Kondisi struktur jantung juga mengalami kebocoran pada biliknya.

"Peluang kasus seperti ini terjadi hanya lima dari 1 juta kelahiran di dunia," ujarnya.

Menurut dia, RS Harapan Kita baru pernah menangani tiga kasus serupa namun semuanya tak sanggup hidup akibat infeksi pascaoperasi. Kasus bayi "ectopic cordis" sebelumnya pernah terjadi di Surabaya pada April 2011, tapi akhirnya juga meninggal dunia pada hari kelima setelah lahir.

"Tak banyak bayi yang hidup dari kasus ini karena tantangan dari tekanan darah yang meninggi sehingga pembuluh darah menciut dan juga infeksi setelah operasi," ujarnya.

Menurut dia, penanganan yang dilakukan untuk bayi Siti Rahmah sebaiknya dilakukan di Jakarta. Meski begitu, ia mengatakan tim dokter terkendala minimnya fasilitas medis dan alat transportasi untuk membawanya dari Pekanbaru ke Jakarta.

"Kalau secara prosedur medis standar, bayi ini memerlukan penerbangan menggunakan pesawat carteran karena kalau penerbangan komersil saya tak yakin bisa menjaminnya," ujar Dr Totok.

Menurut dia, penyempitan pembuluh darah mengakibatkan aliran pertukaran oksigen dari paru-paru ke jantung sangat minim. Karena itu, bayi Siti Rahmah membutuhkan peralatan penunjang keselamatan yang canggih seperti kotak inkubator lengkap dengan tabung oksigen, infus, alat pemantau pacu jantung, serta alat penstabil suhu badan.

Masalahnya, lanjut Totok, hingga kini belum ada rumah sakit di Indonesia memiliki perangkat kesehatan seperti itu.

"Kalau naik pesawat komersil, tabung oksigen tak bisa di kabin pesawat karena bisa meledak," ujarnya.

Ia mengatakan kondisi bayi kurang aman untuk penerbangan karena telah terdapat tanda-tanda infeksi dan kadar oksigen di darah bayi sangat rendah. Saat menerima sentuhan, lanjutnya, kadar oksigen bayi turun drastis dari 85-88 persen menjadi tinggal 70 persen.

"Bayangkan, saat dalam penerbangan dua jam menuju Jakarta si bayi bagaikan seperti tercekik karena kekurangan oksigen di darah dan dia bisa mati saat di perjalanan," katanya.

Karena itu, ia mengatakan tim dokter merekomendasikan agar bayi Siti Rahmah menggunakan pesawat carter ke Jakarta. Ia memperkirakan, biaya untuk antar jemput menggunakan pesawat carteran untuk bayi Siti Rahmah bisa mencapai Rp250 juta sampai Rp600 juta.

"Tapi kalau memang tidak bisa, maka yang bisa kita lakukan adalah `ikhtiar` dan mencoba semua hal sebisa mungkin saat kondisi darurat," katanya.

Pejabat Sementara Dirut RS Ibnu Sina, Dr Amiral Amra, mengatakan pihaknya mendapat konfirmasi bahwa biaya pemindahan bayi Siti Rahmah akan ditanggung melalui dana Jamkesmas yang diurus oleh Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Namun, ia tak meyakini bahwa Jamkesmas bisa menanggung biaya carter pesawat yang sangat mahal.

"Dana pemberangkatan tak jelas, Jamkesmas belum jelas karena mana bisa untuk biaya semahal itu," ujarnya.

Anggota Komisi IV (bidang Kesra) DPRD Bengkalis Dr Fidel Fuadi Dt Majowasa mengkritisi sikap Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang lamban membantu bayi Siti Rahmah.

"Pemerintah daerah seharusnya jangan menunggu laporan, tapi mendengar dan jangan sampai warga tak mampu sampai terlantar," katanya.

Menurut Fuadi, seharusnya Pemkab Bengkalis segera bersikap proaktif memberikan upaya maksimal untuk memberikan bantuan untuk menyelamatkan bayi Siti. Apalagi, lanjutnya, daerah yang kaya akan minyak bumi itu menganggarkan dana lebih dari Rp200 miliar untuk pos kesehatan di APBD tahun ini.

Bahkan, ia mengatakan anggaran Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) di APBD Bengkalis pada tahun ini mencapai Rp3 miliar per bulan, artinya total dana mencapai Rp36 miliar.

"Sejauh ini dana Jamkesda yang sudah dicarikan sekitar Rp15 miliar, dan seharusnya bayi Siti bisa mendapatkan bantuan dari itu," ujar politisi PKS itu.

Bayi Siti Rahmah kini butuh mukjizat untuk kesembuhannya. Terlebih dari itu, bayi malang itu sangat membutuhkan uluran tangan dari pemerintah agar harapan keluarganya tak menghilang di lorong gelap rumah sakit. Dan agar cap buruk "Orang Miskin Dilarang Sakit" tak terbukti.
(F012)



Oleh FB Anggoro
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011