Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai pemerintah perlu memperlancar aliran CPO atau minyak kelapa sawit kepada produsen minyak goreng karena produksi CPO untuk kebutuhan pasar domestik masih belum memadai.

"Sekarang ini yang menjadi masalah adalah aliran CPO DMO dari eksportir CPO kepada produsen minyak goreng. Masalahnya terletak pada aliran CPO DMO ini," kata Mulyanto dalam keterangan di Jakarta, Selasa.

Mulyanto mengemukakan, produksi CPO nasional sangat cukup dan masih berpotensi untuk ditingkatkan.

Menurut dia, dari total produksi CPO nasional, kebutuhan CPO dalam negeri sendiri (untuk minyak goreng, industri dan biodiesel) hanya sebesar 34 persen. Sementara sebanyak 66 persen CPO diekspor ke pasar global terutama ke India dan Spanyol.

Baca juga: Sidak ritel modern, Mendag sebut distribusi minyak makin baik

Di tengah kelangkaan minyak goreng akhir-akhir ini, masih menurut dia, yang penting dilakukan Pemerintah adalah memastikan, bahwa 20 persen yang sekarang naik menjadi 30 persen CPO DMO (domestic market obligation) dari kuota ekspor yang didedikasikan untuk industri migor dipenuhi dan mengalir baik, sehingga produsen minyak goreng tidak kekurangan pasokan CPO DMO.

"Soal ini yang terutama dikeluhkan pihak industri, bahkan menyebabkan enam produsen minyak goreng tutup," tutur Mulyanto.

Sementara itu, Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta menyatakan bahwa kebijakan DMO dan harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif mengatasi kenaikan harga minyak goreng.

Ia menilai kebijakan itu berpotensi mendistorsi perdagangan, mengurangi reliabilitas perusahaan Indonesia bagi partner dagang luar negeri dan mengundang retaliasi dari negara lain yang dapat merugikan kepentingan Indonesia di pasar internasional.

“Kebijakan DMO dan HET berangkat dari asumsi bahwa permasalahan minyak goreng di Indonesia adalah kelangkaan CPO yang merupakan input penting di pasar domestik. Kebijakan ini juga berangkat dari asumsi bahwa petani lebih suka ekspor karena harganya lagi tinggi. Ini asumsi yang sangat masuk akal tapi tidak diikuti fakta di lapangan,” jelas Krisna Gupta.

Ia melanjutkan DMO memang bisa dipakai untuk mengatasi kelangkaan pasokan CPO. Namun menurut Mendag, yang juga diamini oleh GIMNI, sekarang stok CPO dalam negeri justru berlebih tapi minyak goreng tetap saja langka.

Selain itu, ujar dia, pernyataan yang menyebut ada eksportir yang kesulitan memenuhi 20 persen DMO karena mereka tidak punya cukup jaringan ke pembeli domestik, apalagi pabrik minyak goreng, sangat beralasan karena mereka memang spesialis ekspor.

Baca juga: Mendag sebut pabrik minyak goreng bekerja nonstop

"Menambah bea keluar, meskipun tidak ideal, bisa jadi solusi yang lebih kecil distorsinya daripada DMO ataupun export ban. Hasil pengenaan bea keluar tersebut dapat digunakan untuk mensubsidi masyarakat secara langsung," papar Krisna Gupta.

Menurut data Kemenperin, realisasi produksi minyak goreng sawit 2021 mencapai 20,22 juta ton digunakan untuk memenuhi dalam negeri sebesar 5,07 juta ton (25,07 persen) dan sisanya sebesar 15,55 juta ton (74,93 persen) untuk tujuan ekspor.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menaikkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk produk minyak goreng menjadi sebanyak 30 persen dari sebelumnya 20 persen.

Kebijakan tersebut diputuskan Kemendag mengingat masih terjadi ketidaklancaran distribusi minyak goreng di pasar-pasar dan untuk menjaga agar stok cukup bagi industri minyak goreng.

Baca juga: Soal minyak goreng, Mendag imbau masyarakat tak "panic buying"

Baca juga: Kapolri instruksikan pengetatan pengawasan ketersediaan minyak goreng

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022