Kalau engkau suka menolong, maka engkau akan ditolong
Jakarta (ANTARA News) - Datang kepada saya seorang bapak berusia hampir 70 tahun.  Dia bercerita panjang lebar. Istriku sakit katarak, katanya.

Uraian ceritanya cukup logis, ketimbang seorang anak muda yang pernah mendatangi saya untuk meminta saya melobi bos saya yang kebetulan politisi senior.

Tempat bekerja si bapak sudah tak lagi beraktivitas. Artinya, dia sudah tak bergaji. Tempatnya bekerja adalah lembaga non-profit di mana saya pernah terlibat satu dua urusan. Konon di situ ada nama-nama top, mulai cendekiawan, praktisi kesehatan, sampai birokrat.

Si bapak pandai bercerita sehingga kelihatan dramatis. Ia ceritakan ayahnya sebagai orang hebat. Ia tampak menyesal tak sehebat ayahnya itu.

Ceritanya bertele-tele sehingga saya harus menyelanya. Ada pepatah yang oleh Buya Hamka ditulis di tafsir Al Azhar-nya, bahwa janganlah suka mengatakan ini ayahku, tetapi inilah aku!

Tidaklah penting mengagung-agungkan kebesaran orangtua atau keluarga Anda. Yang penting adalah siapa Anda dengan segala reputasi Anda!

Cerita kemudian berkembang ke soal bangsa dan pemimpin-pemimpinnya. Ia merasa tak ada pemimpin yang membawa bangsanya sejahtera.

Dia ingin revolusi, tapi tak punya pendukung. Orangtua tak bisa melancarkan revolusi sendirian. Katanya, tanpa revolusi keadaan tidak akan membaik. Harusnya, anda-anda yang muda-mudalah yang memulai revolusi!

Saya menginterupsinya, bagaimana dengan ongkos revolusi, apakah revolusi menjamin keadaan menjadi semakin baik, apakah revolusi tidak akan menelan anaknya sendiri?

Hmmm, baik, katanya. Tapi, pokoknya, katanya, ia akan mendukung yang muda seperti saya, untuk memimpin. "Anda anak muda, masa depannya masih panjang. Saya dukung, saya dukung!"

Dukung apa? Saya bukan calon siapa-siapa dan tidak meminta dukungan apa-apa.

Apa saja, jawabnya.

Jangan asal mendukung, timpal saya. Obyektivitas hilang karena latah seperti itu.

Tapi kalau saya ini politisi dan yang mendukung saya itu pengusaha kaya raya, pasti saya tidak akan mengatakan begitu, bukan?

Saya menanyakan anak-anaknya. Ia jawab, semuanya sudah bekerja, sudah mapan. Saya gemas, lantas menanyainya, mengapa bapak tak mendatangi anak-anaknya saja untuk menyelesaikan urusan-urusannya?

Ia jawab, tidak mau mengganggu mereka. Mungkin ia sedang bermasalah dengan mereka? Jawabnya, tidak, hubungan baik-baik saja.

Saya katakan padanya saya juga punya orangtua yang punya problem hampir sama dengannya, tapi saya usahakan untuk berempati dan bertanggungjawab pada orangtua saya.

Anak-anak saya juga, sahutnya. "Tapi, saya tidak mau menyusahkan mereka."

Saya tak tahan, Anda salah pak! Bapak harus bilang ke anak-anak bapak yang sudah mapan itu, bilang ibu mereka sedang sakit. Urusan selesai, bukan?

Tidak juga, katanya. Ia ngalor ngidul lagi. Saya coba kembalikan ke masalah awal, saya katakan jangan subyektif terhadap anak-anaknya. Jangan manjakan mereka sehingga tak memedulikan orangtuanya.

Anak-anak adalah godaan, kita sering membelanya, sesalah apapun mereka. Jangan tak berdaya di depan anak-anak, Pak!

Mungkin pandangan saya salah, tapi aneh saja seorang bapak yang istrinya sakit malah meminta bantuan orang lain, bukan anak-anaknya yang mapan-mapan itu.

Semua orangtua mungkin tidak mau menyusahkan anaknya. Saya memahami ini.

Tapi dalam hal begini, beberapa teman mengingatkan untuk selektif menerima tamu karena banyak “pecahan botol”, aktivis tak jelas juntrungannya yang suka mengajak diskusi panjang-panjang bagaimana menyelamatkan Indonesia, tetapi tetap saja UUD, ujung-ujungya duit, alias minta ongkos.

Yang begitu itu sangat menyita waktu produktif. Teman-teman saya mengingatkan kalau kita asyik menjadi keranjang sampah orang lain, maka urusan kita sendiri keteteran, ujungnya kita jadi fatalis.

"Kalau Anda fatalis, Anda tak akan menjadi manusia mandiri, apalagi kaya," kata sang teman.

Saya tidak menyanggupi permintaan bapak tadi. Saya sarankan dia untuk jujur ke anak-anaknya: ibunya sakit. Ia terima  saran saya, tapi...tolong ongkos bensin saja!

Saya pun merogoh dompet untuk si bapak. Kesimpulannya: datang kepada Anda seseorang, cerita-cerita, lalu ujungnya ongkos bensin juga!

Saya, dan juga Anda, tidak dapat sepenuhnya menutup diri dari realitas sosial demikian.

Banyak orang bermasalah di sekitar kita. Tapi hidup harus terus berjalan. Kalau engkau suka menolong, maka engkau akan ditolong oleh entah siapa.

Kalau engkau didatangi orang yang minta tolong dan absurd permintaannya, setidaknya Anda berpeluang untuk mengembalikan kesadarannya, setidaknya membantunya menyediakan sedikit keranjang sampah untuk membuang unek-uneknya.

Anda akan punya peluang besar untuk jengkel. Anda akan merasa hidup adalah kumpulan kisah menjengkelkan dan tidak menjengkelkan, kumpulan menghadapi orang-orang yang menjengkelkan dan menyenangkan.

Saya mengatakan semua orang ingin kaya, dan caranya sungguhlah mudah: beranilah menolong orang yang lebih membutuhkan dan pantas ditolong, kendati kondisi kita pun serba terbatas.

Agak hambar juga kolom ini diakhiri dengan pesan tolong-menolong. Tetapi saya kira itulah penopang kekuatan modal sosial kita sebagai umat dan bangsa.

Para pakar dan aktivis telah beranjak jauh dengan melembagakannya; menghadirkan dan mengaktualisasikan lembaga-lembaga amal, karitatif atau pemberdayaan.

Saya tidak punya keahlian di bidang pelembagaan tolong-menolong ini. Tapi, saya kira penting juga pelembagaan empati. Yakni bagaimana manusia-manusia Indonesia tidak tumbuh menjadi manusia-manusia robot yang kehilangan dimensi kemanusiaannya.

Barangkali Anda menyanggah saya: bagaimana mungkin empati dilembagakan kalau untuk curhat saja harus bertarif? Semakin profesional lembaga curhat, semakin melejit ongkos per jamnya. Kok seperti masuk perguruan tinggi saja?

Tapi maksud saya adalah pelembagaan empati ini dikembalikan ke keluarga, teman, dan fungsi komunitas sosial.

Setiap persoalan ada penyelesaian seperti bunyi satu ayat Al Qur’an, setiap kesulitan ada jalan asal mau mencari dan membuka jalan, bukan malah menutupnya. Wallahua’lam.

* M. Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, Jakarta

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011