Bandung (ANTARA News) - Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menanggapi santai atas pledoi atau pembelaan dari terdakwa perkara korupsi yang juga Wali Kota Bekasi non aktif Mochtar Muhamad.

JPU Hadianto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, Senin, mengatakan, pembelaan dari terdakwa dinilai masih berdasarkan asumsi serta tanggapan dari saksi-saksi yang dihadirkan oleh pihak kuasa hukum terdakwa.

"Terkait masalah suap, kalau mereka mengatakan tidak terima, siapa yang mau ngaku kalau menerima (suap). Kami mendapat pengakuan dari yang memberi suap atas perintah," ujar Hadianto kepada wartawan usai sidang.

Ia mengatakan pihaknya melakukan audit sendiri terkait dugaan korupsi dana makanan dan minuman sebesar Rp699 juta melalui kegiatan fiktif audensi dengan tokoh-tokoh masyarakat di Bekasi.

Menurutnya, audit tersebut dilakukan oleh pihak KPK yang dibantu oleh BPKP.

Dikatakannya, bahwa bukti-bukti dari dugaan korupsi tersebut dapat dibuktikan seperti mulai dari bukti data transfer rekening hingga undangan dinas.

Menurutnya, ada empat saksi yang menyatakan bukti-bukti tersebut.

"Kami dapat membuktikan dari saksi-saksi yang dihadirkan dipersidangan sebelumnya dan saksi mengatakan hal itu juga lebih dari satu. Kan tidak ada yang berubah dari BAP," kata Hadianto.

Ia menuturkan, dakwaan komulatif ini sesuai dengan fakta-fakta di persidangan termasuk keterangan saksi memberatkan sebanyak 43 orang saksi-aksi dari pejabat dan staf Pemkot Bekasi sendiri yang memberikan keterangan.

"Sebenarnya lebih meringankan akumulatif. Karena kita ajukan dakwaan secara bersamaan. Kalau kita ajukan satu-satu malah lebih berat. Karena ancaman dari pasal dua saja sudah 20 tahun," kata Hadianto.

Sementara itu, dalam pledoinya, terdakwa Mochtar Mohammad mengatakan bahwa dakwaan dan tuntutan dari JPU adalah mengada-ada dan kabur.

Menurutnya, JPU mendakwa dan menuntut berdasarkan asumsi yang menghilangkan fakta dipersidangan.

"Yang bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan daerah sudah ada bagiannya, yaitu pihak SKPD. Kenapa saya yang didakwa dan dituntut. Bahkan saya tidak ikut dalam penyusunan anggaran APBD tahun 2009, karena sudah ada tim anggaran," kata Mochtar Mohamad.

Sesuai dengan keputusan Ketua Majelis Hakim Azharyadi, JPU akan mengajukan Replik kepada secara tertulis pada Kamis (22/9) mendatang.

Walikota Bekasi nonaktif itu dituntut hukuman 12 tahun penjara oleh JPU di PN Tipikor Bandung, Jawa Barat (8/9) karena dituduh melakukan korupsi pada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi tahun 2009 - 2010.

Mochtar dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 dan atau Pasal 5 ayat (1) atau pasal 12 huruf b atau pasal 13 jo pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Juga pasal 55 ayat (1) ke-1 dan pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Komitmen pemerintah

Pada kesempatan terpisah, aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, lemahnya komitmen pemerintah dalam penegakan tindak pidana korupsi salah satunya karena masih banyak penegak hukum yang mudah ’masuk angin’.

Karena itu, Emerson sedang mengajukan "judicial review" ke Mahkamah Konstitusi untuk adanya pemeriksaan lebih intensif terhadap kepala daerah. "Ini berawal dari semakin maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh sejumlah kepala daerah," ujar Emerson.

Bahkan, lanjut Emerson, komitmen dan semangat untuk melakukan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi itu, tampak tidak seiring sejalan.

"Di saat KPK begitu gencar untuk memberikan sanksi hukum terhadap para pelaku korupsi, di sisi lain pemerintah malah melempar wacana untuk memberikan remisi kepada mereka (para koruptor). Selain itu, masih kuatnya juga kepentingan politik yang bermain," ulas Emerson.(*)
(U.KR-ASJ/Y003)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011