Akibatnya pelaku usaha pesaing dari kalangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sulit untuk berkembang.
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyoroti perumusan kebijakan baik di pusat maupun daerah yang belum sejalan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Ketua KPPU Ukay Karyadi dalam Selebrasi 23 Tahun UU 5/1999 di Jakarta, Rabu, menyebut UU 5/1999 sudah 23 tahun hadir di negeri ini, tetapi faktor kesenjangan masih ada sebagai akibat elemen-elemen ketidaksempurnaan pasar, seperti para pelaku usaha besar yang memiliki market
power
yang menyalahgunakan posisi dominasinya.

"Akibatnya pelaku usaha pesaing dari kalangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sulit untuk berkembang," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.

Baca juga: SPKS laporkan dugaan persaingan usaha tidak sehat industri biodiesel

Menurut Ukay, dalam situasi ini, pertumbuhan ekonomi akan lebih dinikmati kelompok usaha besar ketimbang UMKM.

Dari berbagai data yang ada, situasi ini juga belum banyak mengalami perubahan. Hal itu sejalan dengan penilaian Bank Dunia pada 2016 bahwa pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan warga terkaya 20 persen, tapi 80 persen populasi tertinggal di belakang. Itu karena pertumbuhan pendapatan 10 persen orang terkaya Indonesia tiga kali lipat lebih cepat daripada pertumbuhan 40 persen warga termiskin.

"Oleh karena itu perlu ditegaskan, di sinilah urgensinya keberadaan hukum persaingan usaha dan kebijakan persaingan usaha, karena dapat mencegah penguasaan ekonomi pada kelompok tertentu," katanya.

Sebagai pengawal dan pengawas keadilan sosial (the guardian of social justice) dalam membangun perekonomian, khususnya mengawal persaingan usaha sehat dan pengawasan pelaksanaan kemitraan yang diamanatkan UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, Ukay mendorong penguatan kelembagaan KPPU.

Keberadaan Sekretariat KPPU masih diwarnai oleh status pegawai yang belum juga diakui sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Padahal, mulai tahun depan pemerintah hanya mengakui ASN, yaitu ASN yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian
Kontrak (PPPK).

"Karena itu nasib lebih dari 400 pegawai KPPU dapat ditebak tahun depan, jika tidak ada political will dari pemerintah," kata Ukay.

Baca juga: KPPU hentikan praktik penjualan minyak goreng bersyarat

Dari sisi lain, alokasi anggaran KPPU mengalami penurunan sejak lima tahun terakhir. Padahal pengawasan KPPU dilakukan atas semua sektor usaha dan wilayah, termasuk sektor ekonomi digital yang memiliki karakteristik berbeda dibanding sektor konvensional.

Terlepas dari persoalan kelembagaan yang tak kunjung selesai, Ukay menegaskan KPPU tetap berupaya menjalankan tugas dan fungsinya sebagai otoritas persaingan usaha.

Pada tahun 2021,penanganan laporan dugaan pelanggaran meningkat 59 persen dibandingkan tahun 2020.

KPPU juga selama ini telah menghasilkan 197 putusan yang berkekuatan hukum tetap, dan menjatuhkan sanksi kepada hampir sekitar 650
terlapor.

Sementara itu, nilai indeks persaingan usaha dari tahun ke tahun juga terus meningkat. Pada tahun 2021, indeks persaingan mencapai 4,81 alias meningkat dibanding tahun 2020 yang nilai indeksnya 4,65.

"Dengan nilai indeks 4,81 artinya tingkat persaingan usaha secara nasional termasuk ke dalam kategori persaingan usaha menuju tinggi," pungkas Ukay.


 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022