Jakarta (ANTARA News) - Persatuan Insinyur Indonesia (PII) mendesak pemerintah agar lebih berani memaksakan kebijakan industri terhadap negara lain untuk menjamin kesinambungan pembangunan industri nasional.

"Berbagai kebijakan pemerintah seperti keputusan yang akan mengurangi atau bahkan menghentikan ekspor gas ke Singapura harus didukung dan dibutuhkan kesamaan langkah para menteri terkait," kata Ketua Umum PII Said Didu kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

Menurut Said Didu, selama ini kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri cenderung setengah hati, sehingga hasilnya hanya akan menghidupi industri negara lain sementara industri dalam negeri tidak berkembang atau bahkan ada yang mati.

Ia menjelaskan, masalah yang dihadapi saat ini adalah bahwa Kementerian ESDM dan BP Migas selalu mengutamakan pemenuhan kontrak yang sudah ada walaupun hal itu jelas-jelas tidak menguntungkan bagi negara.

"Pemerintah juga masih terlalu takut membuka perundingan dengan pihak asing," tegasnya.

Untuk itu diutarakan Said, dibutuhkan kesamaan kebijakan antara Kementerian Perdagangan dalam regulasi perdagangan, Kementerian Keuangan dalam bentuk insentif dan disinsentif (fasilitas fiskal), dan kementerian ESDM merundingkan kembali kontrak-kontrak dengan pihak luar negeri.

Ia menambahkan selain mengurangi ekspor gas, maka pemerintah juga harus berani menerapkan kebijakan disinsentif terhadap perusahaan yang hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar produk, serta menghentikan impor produk-produk yang sesungguhnya dapat diproduksi di Indonesia.

Menurut Said Didu, larangan ekspor bahan mentah barang tambang yang akan diberlakukan mulai 2014 merupakan langkah positif terhadap perkembangan industri nasional.

"Dampak dari larangan ekspor bahan mentah tambang itu, selain memberi nilai tambah, juga dapat meningkatkan penerimaan pajak, menyerap tenaga kerja, daya tawar industri hilir yang semakin, dan meningkatkan perolehan devisa negara," katanya.

Mantan Sektretaris Menteri BUMN ini juga menyoroti pentingnya pemerintah mempercepat penyelesaian rencana penggunaan produk alat utama sistem persenjataan (alutsista) dalam negeri.

Sejatinya permintaan alutsista produksi BUMN Industri Strategis cukup tinggi baik dari dalam negeri maupun pesanan asing, namun sulit dikembangkan karena keterbatasan dana.

Untuk hal ini , Said berpendapat jalan keluarnya adalah pemerintah harus memberikan jaminan kepada perbankan dalam negeri sehingga dapat membiayai produksi alutsista secara jangka panjang.

Selain itu juga dapat didukung dengan membebaskan pajak dan bea masuk bahan baku seperti yang diterapkan terhadap terhadap produk impor alutsista yang menggunakan bantuan pinjaman luar negeri.
(R017/A011)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011