Jakarta (ANTARA) - Sebagai sebuah institusi hukum, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjadi garda terdepan dalam upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Air.

Namun sampai sejauh ini, masyarakat senantiasa mengharapkan sebuah keterbukaan alias transparansi sekaligus penguatan HAM dalam tugas kepolisian.

Sebenarnya bagaimanakah internal Polri melihat dari perspektif mereka terkait persoalan itu? Sebagai aparat hukum, faktanya Polri memang sudah menyadari adanya spirit yang berkembang di kalangan masyarakat dalam memaksimalkan penegakan HAM.

Oleh karena itu Kadiv Humas Polri Irjen Pol.Dr Dedi Prasetyo, M.Hum mengingatkan bahwa rentetan persoalan HAM di Tanah Air tidak selalu bermuara pada terjadinya pelanggaran HAM dalam penyelesaiannya.

Menurut dia, kalau hal ini dijadikan alat ukur maka penegakan HAM hanya akan diukur secara kuantitatif, antara kasus HAM yang terjadi dengan jumlah kasus yang terselesaikan.

Menurut Kadiv Humas Polri, untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik atau "Good Governance" maka perbaikan dalam perspektif penguatan institusi Polri yang berbasis pada penegakan hukum berkeadilan, reproporsi kekuasaan dan wewenang, pendidikan serta sosialisasi HAM merupakan syarat mutlak yang perlu dipenuhi.

Dedi menegaskan jika hal ini memiliki kaitan erat dengan tugas dan fungsi pokok Polri.

Baca juga: Komnas HAM harap penegakan hukum oleh polisi bebas kekerasan

Baca juga: Babak baru perlindungan dan penegakan HAM di Tanah Air


Sementara itu pakar hukum Prof. Harkristuti Harkrisnowo mengingatkan, setiap anggota Polri harus mematuhi dan menegakkan HAM karena betapapun kecilnya pelanggaran, bahkan di tempat yang terpencil sekalipun akan menjadi perhatian dunia.

Terlebih kata Harkristuti, untuk ruang-ruang yang memang menjadi bagian langsung tugas kepolisian.

Pelanggaran Meningkat
Sayangnya seringkali harapan menjadi tak mudah untuk diwujudkan sebab kendala yang ada di lapangan tidak seragam.

Bahkan kendala yang ada kerap datang dari internal dimana pelanggaran anggota Polri sering pula terjadi.

Sebagaimana disampaikan Karo Wabprof Divisi Propam Polri, Brigjen Pol. Anggoro Sukartiono, yang menyebut adanya peningkatan pelanggaran anggota Polri dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

Jumlah pelanggaran (disiplin dan KEPP) pada 2018 tercatat 3.620 kasus, 2020 meningkat menjadi 5.385 kasus, dan 2021 menjadi 3.926 kasus. Tercatat kasus yang diselesaikan pada 2018 sebanyak 2.350 kasus, kemudian pada 2020 sebanyak 5.385 kasus, dan pada 2021 sebanyak 3.926 kasus.

Adapun bentuk sanksi yang dilakukan di antaranya demosi 171 personel (2021), pembebasan jabatan 22 (2021), dan tunda gaji berkala 215 (2021).

Fakta-fakta itu menjadi cerminan bahwa di samping ada pelanggaran yang memang terjadi namun Polri sedang terus berupaya untuk memperjuangkan sebuah transparansi.

Komisioner Kompolnas Polri Pongky Indrati pun mengapresiasi keterbukaan dan penegakan HAM di tubuh Polri yang menurutnya semakin baik.

Setelah reformasi Polri dianggap lebih baik, bahkan saat ini tercatat menjadi 3 besar institusi negara yang paling dipercaya masyarakat.

Meskipun demikian, Kompolnas berharap seluruh pimpinan dan anggota Polri untuk terus memahami, menghormati, dan melaksanakan HAM dengan lebih baik.

Adapun publik figur Arzeti Blibina mengatakan, meskipun saat ini citra polisi sudah mulai baik namun ia berharap ke depan akan lebih baik lagi.

Baca juga: Kominfo dorong penegakan hukum yang adil pada kasus pelecehan di KPI

Baca juga: Komnas HAM: Lembaga penegak hukum perkuat kerja sama memajukan HAM


Menurut dia, citra menakutkan berurusan dengan Polri sudah berubah menjadi lebih bersahabat, bahwa Polri benar-benar bersama masyarakat.

Ia tidak ingin lagi ada pandangan yang mengibaratkan kalau kehilangan ayam lapor polisi akan kehilangan sapi. Sebaliknya ia ingin tugas mulia polisi tampil menonjol, sehingga polisi akan menjadi cita-cita yang ingin dicapai anak-anak bangsa ini sejak mereka masih kecil.

Bebas Kekerasan
Citra polisi yang ramah memang merupakan pekerjaan rumah yang tak mudah untuk diwujudkan.

Sebab hingga akhir tahun lalu saja Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI masih mencatat bahwa Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan instansi yang paling banyak diadukan oleh masyarakat sepanjang 2021.

Oleh karena itu, Polri kemudian diharapkan semakin terbuka dan transparan dalam menegakkan hukum dan HAM, sekaligus bebas dari citra kekerasan.

Di satu sisi, hal itu disadari memang bukan perkara mudah karena tantangan yang dihadapi polisi akan semakin besar dan kompleks.

Pada pertengahan hingga penghujung 2021, Komnas HAM juga melaporkan terdapat perubahan dinamika cukup serius di kepolisian. Di tengah desakan Komnas HAM dan masyarakat terhadap Polri, Korps Bhayangkara melakukan sejumlah pembenahan.

Komnas HAM menyebut ada semacam terobosan-terobosan akuntabilitas yang digagas oleh Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk membawa perubahan di tubuh Polri. Salah satu terobosan yang dilakukan ialah memantau pengawasan dan komplain secara daring oleh masyarakat.

Akan tetapi, di satu sisi, Komnas HAM melihat terobosan tersebut belum begitu dikenal luas oleh masyarakat sehingga lebih memilih jalur memviralkan lewat media sosial. Padahal beberapa kasus-kasus yang cukup menjadi perhatian publik, bisa diselesaikan dengan cepat oleh polisi.

Bahkan, Kapolri mengambil sikap tegas dengan memecat personel yang terbukti bersalah. Pemecatan itu terkait pelayanan, tindakan kekerasan, hingga perilaku.

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo juga sudah menyampaikan komitmennya untuk terus membenahi organisasi Korps Bhayangkara dan pelayanan publik.

Maka ke depan kemudian penegakan HAM diharapkan bisa dipandang dengan perspektif yang semakin universal, agar humanisme tidak sekadar menjadi citra namun merupakan napas kepolisian.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2022