Jakarta (ANTARA) - Kenaikan harga minyak mentah dunia menjadi momentum yang tepat bagi Pertamina untuk menaikkan harga BBM jenis Pertamax, namun hal itu jangan sampai memicu konsumen beralih ke Pertalite, kata Massita Ayu Cindy, Peneliti Sektor Energi dari Purnomo Yusgiantoro Center (PYC).

Saat diskusi secara daring dengan editor media di Jakarta, Selasa, Massita mengatakan PYC belum melakukan perhitungan detil untuk harga yang cocok bagi Pertamax. Namun, menurut dia, harga yang cocok seharusnya pada titik dimana konsumen tidak akan beralih ke energi substitusi.

Massita menilai kenaikan harga Pertamax yang terlalu tinggi berpotensi memicu perpindahan konsumsi ke Pertalite, BBM dengan kadar oktan 90 yang tidak masuk kategori penugasan. Pertamina dinilai juga harus melihat aspek psikologi masyarakat jika ingin menaikkan harga Pertamax sama seperti produk sejenis dari kompetitor.

"Saya khawatir konsumen akan migrasi ke Pertalite," ujarnya.

Baca juga: Stafsus Menteri BUMN usulkan penghitungan ulang harga Pertamax

Bila itu terjadi, lanjut Massita, tidak hanya mengganggu keuangan Pertamina tapi juga pemerintah. Hal ini dipengaruhi oleh konsumen BBM Pertamina yang majemuk. Bagi masyarakat level menengah atas, kenaikan harga Pertamax tidak akan banyak berpengaruh. Berbeda halnya dengan masyarakat menengah bawah.

“Perekonomian saat ini memang sudah mulai naik, tapi belum stabil sepenuhnya,” kata dia.

Besaran kenaikan harga Pertamax yang diambil Pertamina juga bisa menjadi momentum untuk mengambil pasar dari kompetitor yang harganya telah lebih dulu dinaikkan.

“Mungkin Rp12 ribu per liter, tapi kalau mau ambil pangsa pasar kompetitor, ya di bawah itu. Tapi itu bergantung pada Pertamina dan pemegang saham (pemerintah),” ujar Massita.

Massita mengungkapkan sejak 2019 hingga saat ini tidak banyak perubahan yang terjadi terhadap kebijakan harga BBM. Harga dasar mengikuti Argus dan MOPS dan di evaluasi per tiga bulan. Pada 2020 ada sedikit perubahan pada perumusan harga saja.

Berdasarkan kajian PYC, harga BBM sesuai harga minyak dunia menunjukkan fluktuasi global, kecuali Premium sama sekali tidak mengikuti fluktuasi harga minyak global.

Baca juga: Masyarakat kalangan mampu diimbau gunakan Pertamax

Anomali terjadi sejak awal 2021, Shell sudah mulai naik, Pertamax Turbo sudah mulai naik, namun Pertamax 92 masih stagnan sampai sekarang. Padahal seharusnya Pertamax juga mengikuti harga minyak global.

“Sebetulnya BBM jenis umum kewenangan harga sepenuhnya di badan usaha. Pertamax ini kan BBM jenis umum, jadi sebetulnya harga sepenuhnya kewenangan Pertamina," katanya.

Sebelumnya Juru Bicara Kementerian BUMN  Arya M Sinulingga mendukung rencana Pertamina menaikkan harga Pertamax. Dengan harga saat ini, Pertamax adalah BBM RON 92 paling murah di kelasnya yang dikonsumsi oleh pengguna kendaraan kelompok menengah atas.

“Dengan harga saat ini, Pertamina telah menyubsidi Pertamax. Dan ini jelas artinya, Pertamina subsidi mobil mewah yang memakai Pertamax,” ujar Arya.

Kenaikan harga Pertamax, yang merupakan BBM RON 92 diprediksi tinggal menunggu waktu. Apalagi Kementerian ESDM telah memberikan restu kepada Pertamina untuk menaikkan harga Pertamax karena batas atas penjualan BBM tersebut hingga 14 Maret 2022 sejatinya lebih dari Rp14.000 per liter.

Sementara itu pesaing Pertamina telah menaikkan beberapa kali BBM RON 92 tersebut. Harga terakhir BBM RON 92 per awal Maret 2022 adalah Rp11.900-Rp12.990 per liter, sedangkan Pertamax hanya Rp9.000 per liter, tak pernah naik sejak lebih dari dua tahun lalu.

Baca juga: Pertamina naikkan harga tiga produk BBM non subsidi
 

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022