Makassar, (ANTARA News) - Jumlah spesies kupu-kupu di cagar alam dan kawasan wisata Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan kini semakin berkurang karena pemanfaatan secara komersil yang makin meningkat serta gangguan terhadap habitat mereka. "Dari sekitar 300 species pada tahun 1960-an, kini yang tersisa di Bantimurung hanya sekitar 135 spesies," kata Basri Andang, pemerhati lingkungan dan fauna dari LSM Jurnal Celebes Makassar, Sabtu (11/2). Ia mengharapkan perhatian khusus pemerintah setempat untuk melestarikan kupukupu Bantimurung tersebut karena bila terlambat, species tersebut bisa punah dalam tempo yang tidak terlalu lama. Menurut dia, ekosistem dan habitat kupu-kupu itu kini terganggu oleh pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan. Tugas penting Pemda adalah menyadarkan masyarakat setempat akan pentingnya melestarikan serangga yang bersayap elok itu karena warga di sekitar kawasan wisata Bantimurung ini telah menjadikan kupu-kupu sebagai objek bisnis yang menggiurkan. Mereka menangkap kupu-kupu langsung dari habitat mereka untuk diperdagangkan, meski ada juga dari hasil penangkaran sendiri lalu menjualnya kepada pengumpul dan eksportir. Dari hasil pantauan ANTARA diketahui warga yang menjadikan kupu-kupu sebagai mata pencaharian, menjual kupu-kupu dengan harga yang relatif murah disesuaikan dengan corak dan warna kupu-kupu. Untuk satu ekor kupu-kupu yang corak warnanya biasa-biasa saja, biasanya ditawarkan dengan harga Rp2.000 hingga Rp5.000 namun ada yang bernilai jutaan rupiah jika sudah dibingkai. Basri mengaku sangat khawatir dengan kelestarian kupu-kupu di Bantimurung yang telah mengangkat nama daerah ini sebagai `surganya kupu-kupu` di mata dunia. "Kalau kupu-kupu ini bisa dilesatrikan, maka Bantimurung bisa dioptimalnya pengelolaannya sebagai salah satu daerah tujuan wisata menarik di masa depan," katanya. Pemkab Maros sendiri telah menjalin kerjasama dengan Departemen Kehutanan untuk membangun sebuah laboratorium penelitian kupu-kupu di Bantimurung, namun upaya itu belum maksimal bila tidak disertai dengan upaya intensif untuk melindungi habitat mereka. Kepala desa Untuk melestarikan hutan, pemerintah diminta untuk memberdayakan kepala desa dan aparatnya karena ujung tombak pengelolaan hutan sebenarnya adalah kepala desa, kerena dialah yang setiap hari berhubungan langsung dengan masyarakat di lapangan, termasuk yang bersentuhan dengan praktik illegal logging. Ir Syamsu Alam, dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin yang dihubungi terpisah mengatakan, selama ini program rehabilitasi ataupun pengamanan hutan kurang melibatkan unsur aparat desa. Kalaupun mereka dilibatkan, itu hanya pada awal-awal program atau pada saat peluncuran (launching) program. Seharusnya wewenang pengelolaan hutan diberikan kepada kepala desa, tentu dengan lebih dahulu melengkapi mereka dengan pengetahuan dan sarana/prasarana yang dibutuhkan dalam mengelola kawasan hutan di daerahnya masing-masing. Dengan pelimpahan wewenang tersebut, pengawasan pengelolaan hutan akan lebih efektif karena ditangani oleh pihak yang mengetahui keadaan dan kondisi nyata di lapangan, katanya. Tingkat kerusakan hutan di Sulsel saat ini sudah semakin mengkhawatirkan. Dari dua juta hektar lebih kawasan hutan yang dimiliki, sudah 350.000 hektare di antaranya telah menjadi lahan kritis.(*)

Copyright © ANTARA 2006