Jakarta (ANTARA) - Bagi sebagian besar pembaca, frasa Surat Keterangan Keimigrasian (Skim) merupakan hal yang anyar. Tentu yang akan terbayang Skim adalah Surat Keterangan sebagaimana surat keterangan pada umumnya. Skim bukan merupakan surat keterangan biasa, tapi Skim memiliki spektrum yang lebih khusus dan tertentu.

Bila dapat diibaratkan sebagai sebuah perjalanan menuju kewarganegaraan Indonesia. Skim dapat diasosiasikan sebagai jembatan utama untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia.

Mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) no: M.HH.01.GR.01.14/2010 tentang Tata Cara Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian. Skim adalah dokumen keimigrasian yang memuat keterangan mengenai masa tinggal warga negara asing di wilayah Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut dan 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut sebagai salah satu persyaratan permohonan Kewarganegaraan Republik Indonesia baik melalui pewarganegaraan maupun menyampaikan pernyataan menjadi Warga Negara Indonesia.

Ketentuan tersebut di atas berpedoman pada Undang-undang no.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang isinya antara lain Pasal 8 yang berbunyi Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan.

Berikutnya pada Pasal 9 huruf b dinyatakan bahwa Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut : b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut.

Sedangkan pada Pasal 19 ayat (1) UU 12/2006 menyebutkan bahwa Warga Negara Asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan Pejabat.

Dalam implementasi pengajuan permohonan Skim terdapat hal yang perlu disosialisasikan kepada publik terutama kepada para pemohon Skim. Yaitu terkait Pasal 8 juncto Pasal 9 pada satu sisi dan Pasal 19 pada sisi lainnya, yang terdapat dalam UU no.12/2006. Kedua hal tersebut kerap menimbulkan permasalahan yang dilematis di lapangan akibat ketidakkonsistenan penggunaan Pasal-pasal ini pada saat permohonan menjadi WNI.

Hal yang patut dibedakan pada saat permohonan Skim adalah jika dalam rangka pewarganegaraan maka sebagai subjek Pasal 8 jo Pasal 9. Namun, bila dalam rangka menyampaikan pernyataan menjadi warga negara maka sebagai subjek pasal 19 UU no.12/2006.

Kedua hal tersebut tentu dibarengi dengan persyaratan yang berbeda. Tapi dibutuhkan persyaratan atau dokumen pendukung yang sama jika akan melanjutkan permohonan pengajuan WNI ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).

Namun kadang yang terjadi tidak demikian adanya. Artinya pemohon (WNA) mengajukan permohonan Skim ke Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjenim) sebagai subjek Pasal 8 jo Pasal 9 UU no.12/2006. Namun pada saat orang asing tersebut melanjutkan proses pengajuan WNI ke Ditjen AHU malah melampirkan persyaratan yang mengacu pada Pasal 19 UU no.12/2006.

Ilustrasi yang terjadi sebagai berikut : pada saat pemohon (WNA) mengajukan permohonan Skim pada Ditjenim, WNA mengajukan sebagai subjek Pasal 9 UU no.12/2006 dengan status Tenaga Kerja Asing (TKA) Pimpinan Tertinggi perusahaan, pemegang ITAP yang disponsori perusahaan.

Berkas persyaratan permohonan yang dilampirkan antara lain bukti keberadaan orang asing tersebut di Indonesia yaitu telah memiliki KITAS I - KITAS VI, yang menunjukkan yang bersangkutan telah bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 5 (lima) tahun berturut turut; jabatan Direktur Utama; Surat Ditjen AHU Kemenkumham RI tentang Perseroan; Surat Nomor Induk Bersama (NIB).

Berdasarkan berkas tersebut di atas berarti yang bersangkutan mengajukan permohonan Skim dalam rangka pewarganegaraan Republik Indonesia sesuai pasal 8 jo pasal 9 UU no.12/2006 dan pasal 3 ayat 1 Permenkumham Tahun 2010 tentang Tata Cara Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian.

Persyaratan yang dilampirkan pada saat pengajuan permohonan di Kantor Imigrasi (Kanim) setempat sudah lengkap. Permohonan telah memenuhi ketentuan yang berlaku sehingga disetujui oleh Direktur Izin Tinggal, Ditjenim. Kemudian Kanim terdekat dengan domisili WNA menerbitkan Skim.

Untuk proses selanjutnya, orang asing (biasanya melalui pengurus yang dikuasakan) meneruskan proses permohonan WNI berikutnya ke Ditjen AHU dengan melampirkan Skim dan persyaratan lainnya.

Selain persyaratan tersebut, pemohon juga melampirkan surat nikah yang bersangkutan dengan wanita WNI yang diterbitkan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai dasar permohonan menjadi WNI. Bila ditelisik lebih jauh terkait subjek Pasal yang mendasari diajukan-nya permohonan Skim di Ditjenim dan pada proses berikutnya di Ditjen AHU adalah terdapat perbedaan.

Penyebab perbedaan itu terdapat dua kemungkinan ialah unsur ketidaktahuan atau potensi kesengajaan. Namun terlepas dari itu semua, yang utama adalah bagaimana menciptakan koridor ketentuan perundang-undangan yang dapat membingkai perilaku pemohon agar tidak menimbulkan kendala baru.

Bila merujuk pada ketentuan yang terdapat pada Ditjen AHU tentang persyaratan permohonan menjadi WNI antara lain Asli Surat Keterangan Keimigrasian (Skim) yang dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi (Kanim) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon yang menyatakan bahwa pemohon telah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut.

Singkat cerita, akhirnya Ditjen AHU menyetujui permohonan WNI yang bersangkutan dengan subjek Pasal 19. Ditjen AHU juga telah melakukan konfirmasi ke KUA dan surat nikah tersebut terdaftar pada KUA. Jika ditinjau dari ketentuan perundang-undangan pada Ditjen AHU, hal ini sudah sesuai aturan. Kemudian Ditjen AHU menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) tentang status WNI yang bersangkutan.

Inilah celah peraturan yang memiliki konsekuensi kendala yang cukup signifikan bagi pemohon. Yaitu pada tahap selanjutnya, yang bersangkutan akan datang ke Kanim untuk memohon pencabutan dokumen keimigrasian-nya. Namun Kanim menolak karena Skim yang diterbitkan bagi yang bersangkutan adalah sebagai subjek pasal 9.

Kendala bagi pemohon terkait pencabutan dokumen keimigrasian. Adalah Surat Keputusan WNI yang diterbitkan dengan melampirkan Kepmen yang diberikan untuk subjek pasal 19. Sementara di Ditjenim tidak tercatat yang bersangkutan memiliki isteri WNI dan izin tinggal yang bersangkutan pun bukan isteri sebagai penjaminnya tapi perusahaan.

Akibatnya bagi pemohon harus mengeluarkan energi, waktu dan biaya tambahan untuk menyelesaikan kendala ini agar dokumen keimigrasiannya dapat dicabut. Bila ditinjau dari perspektif pelayanan publik baik dari segi kuantitas dan kualitas.

Permohonan Skim ini secara kuantitas jumlahnya sangatlah kecil. Bila dibandingkan dengan pelayanan keimigrasian lainnya dalam kuantitas yang lebih besar dan secara kualitas telah memperoleh indeks pelayanan publik dengan kategori sangat memuaskan seperti pelayanan paspor dan izin tinggal. Bukan bermaksud membanding-bandingkan pelayanan keimigrasian. Namun hanya berupaya agar pelayanan keimigrasian sekecil apa pun mendapat porsi pelayanan yang berkeadilan.

Agar solusi yang dilakukan maksimal, di sinilah perlu disandingkan pada tataran Sub Direktorat (Subdit). Yaitu Sub Direktorat Status Keimigrasian dan Kewarganegaraan, Direktorat Izin Tinggal Keimigrasian, Ditjenim dan Sub Direktorat Pewarganegaraan, Direktorat Tata Negara, Ditjen AHU.

Kedua Subdit ini perlu duduk bersama agar dapat merumuskan kebijakan tersebut. Mulai dari yang tertinggi sampai ketentuan teknis turunannya secara hierarki dan selaras. Sehingga tidak mengakibatkan persoalan di lapangan yang dapat menimbulkan tanya bagi pemohon Skim. Pasalnya selama ini belum terdapat ketentuan yang mengatur mengenai adanya konfirmasi dari Ditjen AHU ke Ditjenim terkait hal tersebut di atas.

Hal lain pada Ditjenim terdapat Direktorat Kerjasama Keimigrasian, yang dapat mengambil peran penting sebagai fasilitator dalam menjembatani persoalan ini. Bahkan terbuka peluang untuk menyelesaikan permasalahan lainnya terkait dengan pewarganegaraan dan kewarganegaraan yang merupakan irisan domain Ditjenim dan Ditjen AHU.

Semoga pencerahan ini dapat menyingkap cakrawala berpikir bagi pemohon Skim. Yang terus bertambah seiring dengan semakin intens dan terbuka-nya interaksi antarbangsa di Bumi Pertiwi ini.

*) Fenny Julita,S.Sos.,M.Si. adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.

Copyright © ANTARA 2022