Jakarta (ANTARA News) - Saparinah Sadli adalah seorang yang berani tampil untuk mengerjakan pemikirannya dalam advokasi perempuan, sejarawan Anhar Gonggong pada malam penganugerahan Nabil Award 2011 di Jakarta, Rabu.

"Saparinah Sadli adalah orang yang berani untuk tampil mengerjakan pemikirannya, contohnya dalam membela perempuan yang mengalami diskriminasi," kata Anhar, penerima Nabil Award 2010 mengenai Saparinah Sadli yang memperoleh Nabil Award 2011.

Saparinah Sadli, perempuan kelahiran Tegalsari, Jawa Tengah, 84 tahun yang lalu itu adalah Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia sekaligus aktivis di bidang perempuan dan kemanusiaan.

Perannya dikenal masyarakat pasca kerusuhan Mei 1998 saat memimpin 22 tokoh perempuan yang bergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan yang menghadap presiden BJ Habibie dan meminta pemerintah meminta maaf atas kekerasan seksual yang dialami banyak perempuan saat kerusuhan tersebut.

"Ia juga seorang yang tekun, karena profesi awal Saparinah adalah apoteker namun berubah menjadi psikolog," tambah Anhar.

Sementara bagi salah satu Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani mengatakan, Saparinah Sadli adalah sosok yang memperjuangkan perempuan bukan hanya pada tataran wacana.

"Persoalan keadilan bagi perempuan bukan hanya wacana bagi ibu Sap, ia juga terbuka untuk belajar kepada generasi yang lebih muda mengenai diskriminasi gender di zaman yang berbeda," kata Andy yang mengaku perbedaan usianya dengan Saparinah mencapai 50 tahun.

Hal yang paling diingat oleh Andy adalah mengenai cara Saparinah menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dengan metode yang khusus.

"Pendekatannya lebih dari legalistik formal, yang selalu mengingatkan kami agar bukan hanya menyelesaikan kasus hingga pada pelaku tapi juga pemulihan korban menjadi penting," tambah Andy yang mulai bekerja dengan Saparinah Sadli di Komnas Perempuan sejak 2000.

Menurut Andy, masih ada tiga persoalan perempuan di Indonesia yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.

"Pertama adalah penuntasan pelanggaran HAM masa lalu karena perempuan selalu terlibat sebagai korban mulai dari kejadian 1965 hingga tragedi Mei 1998, dan selama ini tidak ada perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) sehingga hukum masih tidak berpihak pada perempuan sebagai korban," jelas Andy.

Masalah kedua adalah kekerasan yang mengatasnamakan agama dan moralitas yang menjadikan perempuan sebagai target utama, misalnya peraturan daerah (perda) di beberapa tempat.

"Persoalan ketiga adalah migrasi perempuan yang dapat menimbulkan penjualan perempuan (trafficking), ditambah kebanyakan pekerja migran perempuan bekerja di ranah domestik yang tidak dilindungi UU Perburuhan," papar Andy.

Nabil Award adalah penghargaan tahunan dari Yayasan Melly dan Eddie Lembong untuk National Building (NABIL) kepada ilmuwan sosial yang berjasa bagi pengembangan "national building" Indonesia melalui penelitian, penerbitan karya ilmiah atau aktivitas yang memberikan pencerahan kepada publik.

Saparinah adalah penerima Nabil Award ke-10 pada tahun ke-5 anugerah tersebut karena penerima penghargaan tiap tahun tidak melulu satu orang.

Pada 2010 misalnya, Nabil Award diberikan kepada sejarawan Anhar Gonggong, Mona Lohanda dan Asvi Warman Adam.
(T.SDP-03/ANT)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011