Jakarta, (ANTARA News) - Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi (BPPT) Nadirman Haska mengatakan kekhawatiran akan terjadinya penggundulan hutan besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan biofuel di masa datang tidak perlu terjadi dengan pemanfaatan jarak pagar. "Dengan mengolah biofuel dari jarak pagar maka kekhawatiran akan terjadinya konversi besar-besaran hutan menjadi kebun kelapa sawit demi pemenuhan kebutuhan bio-fuel dapat diatasi," kata Nadirman di kebun tanaman jarak BPPT Serpong, Selasa (14/2). Sebelumnya, disahkanya Inpres No. 1/2006 mengenai Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 25 Januari 2006 sempat memunculkan kekhawatiran jika pemerintah akan mengulang kesalahan yang sama dengan pada pengelolaan kelapa sawit, di mana jutaan hektar hutan dikonversikan mejadi perkebunan sawit. "Kita tidak ingin melihat hutan Indonesia kembali digunduli dengan alasan pengembangan biofuel," kata Program Manajer Mitra Emisi Bersih (MEB) Firdaus Cahyadi. Menurut Nadirman, berbeda dengan kelapa sawit, maka tanaman jarak pagar tidak membutuhkan perawatan dengan kondisi khusus. "Jarak pagar dapat ditanam pada lahan-lahan kritis sehingga tidak perlu membuka hutan cukup dengan memanfaatkan lahan kritis yang ada," katanya. Bahkan, kata dia, jarak pagar dapat tumbuh di tanah dengan curah hujan hanya empat bulan per tahun. Kualitas biofuel yang dihasilkan dari tanaman jarak pagar pun menurut Nadirman sama dengan tanaman kelapa sawit. "Tetapi untuk saat ini BPPT baru mengembangkan biofuel dari kelapa sawit mengingat masih sangat sulit untuk mencari jarak pagar," katanya. BPPT, kata dia, baru mulai membuka satu hektar lahan jarak pagar dan berharap di masa mendatang para petani dapat menanam jarak pagar di lahan-lahan kritis sehingga pasokan jarak pagar dapat mencukupi untuk kebutuhan biofuel mengingta pada 2025 ditargetkan sekitar 30 persen kebutuhan energi Indonesia dipasok oleh bio-fuel. "Menanam jarak pagar relatif tidak sulit, pada usia empat sampai enam bulan sudah berbuah. Setiap pohon rata-rata mampu menghasilkan tiga hingga enam kilo buah jarak yang dapat dikonversi menjadi satu hingga dua liter biofuel," ujarnya. Sementara itu Firdaus mengharapkan pengembangan bahan bakar nabati juga membawa keuntungan bagi petani dan ekonomi pedesaan. "Kita pantas khawatir jika ratusan hektar kebun yang menghasilkan bahan baku dari biofuel dikuasai oleh pengusaha besar, baik asing atau nasional, sementara petani tetap menjadi `sapi perahan`," katanya. Untuk itu, kata dia, diperlukan mekanisme yang memastikan bahwa pengembangan bahan bakar nabati itu selain mengurangi ketergantungan industri otomotif terhadap bahan bakar minyak (BBM) juga mampu memberdayakan petani.(*)

Copyright © ANTARA 2006