mereka sebenarnya berharap direlokasi
Labuan Bajo (ANTARA) - Mateus Demin (56) melihat bangunan rumahnya yang miring sambil mengusap air mata. Dia tak menyangka rumah yang terbangun pada tahun 2007 itu tak bisa lagi dia tempati.

Fenomena tanah bergerak yang terjadi di Kampung Wae Munting, Desa Induk Nampar Macing, Manggarai Barat, NTT sejak tahun 2018 silam menyebabkan keretakan pada dinding, lantai, dan fondasi rumah itu.

​​​​​​Kini, retakan pada beberapa bagian rumahnya tampak semakin melebar dan banyak. Khawatir akan mengancam kehidupan keluarganya, Mateus Demin memutuskan pindah ke kebun dan membangun sebuah pondok beratap bambu.

Kondisi serupa dialami oleh Simplisius Jempu (40) dan Benyamin Nenohaifeto (43). Mereka tak bisa menyembunyikan raut kesedihan dan penyesalan karena kerusakan rumah akibat pergerakan tanah.

Rumah permanen ukuran 6 x 8 meter yang Simplius bangun sejak Oktober 2017 dengan biaya sekitar Rp100 juta itu, kini tidak bisa ditinggali sama sekali. Sebagian sisi tembok rumah roboh dan menyebabkan batu bata berserakan. Tanah di sekitar rumah pun terbelah, termasuk bagian dinding dan lantai rumah.

Retakan kecil di rumah Simplius terjadi pada tahun 2019. Pada tahun 2020 dan 2021, retakan pada beberapa bagian bangunan rumah semakin melebar. Dia tetap memilih tinggal karena bangunan itu belum roboh. Namun, dia terpaksa meninggalkan rumah yang dia bangun dengan susah payah itu pada Februari 2022 lalu. Bersama istri dan dua anaknya, mereka mengungsi ke rumah tetangga karena akhirnya rumah itu roboh.

Kepasrahan menanti bantuan pemerintah disampaikan oleh Benyamin yang dua kali mengalami rumah roboh akibat tanah bergerak. Peristiwa pertama terjadi pada tahun 2018 yang menyebabkan bagian belakang rumah roboh. Dia pun mencari dana sendiri untuk membangun kembali rumah itu.

Namun, dia tak beruntung. Peristiwa serupa terjadi lagi pada tahun 2019 dan berlanjut hingga tahun 2022 ini. Kini, rumahnya hancur total. Sejak tanggal 13 Maret 2022, dia sudah mengungsi ke rumah  tetangga.

Pergerakan tanah telah terjadi di dua kampung dalam wilayah Desa Induk Nampar Macing, Kecamatan Sano Nggoang, yakni Kampung Wae Munting dan Kampung Dange.

Jumlah keluarga terdampak dalam bencana itu sebanyak 11 KK yang terbagi menjadi 9 KK di Kampung Wae Munting dan 2 KK di Kampung Dange. Namun, melihat potensi kerusakan yang terjadi, fenomena ini telah mengancam kehidupan 62 KK dan 225 jiwa di Kampung Wae Munting, serta 52 KK dan 186 jiwa di Kampung Dange.

Dengan demikian, total warga yang terdampak dan terancam dalam bencana itu sebanyak 411 jiwa. Mengungsi ke rumah kerabat/tetangga merupakan pilihan sementara warga terdampak untuk menyelamatkan diri sementara dari ancaman bencana.

Baca juga: BPBD Trenggalek imbau warga waspada tanah bergerak pemicu longsor
Baca juga: Warga korban bencana tanah bergerak di Lebak ketakutan rumah roboh

Curah Hujan
Intensitas hujan yang terjadi di wilayah Kecamatan Sano Nggoang semakin memperparah pergerakan tanah di Kampung Wae Munting dan Kampung Dange.

Hingga hari Sabtu (2/4), kampung itu masih diguyur hujan dengan intensitas sedang. Hujan membuat warga waspada sekaligus takut.

Beberapa warga menyebut keretakan sering terjadi bertepatan dengan hujan deras di sana. Kondisi itu terasa mencekam jika terjadi gempa. Warga pun tidak bisa tidur malam dengan nyenyak karena takut akan tertindih rumah yang terbawa gerakan tanah.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat wilayah Manggarai Barat telah memasuki masa pancaroba atau peralihan (transisi) dari musim hujan ke musim kemarau. Puncak musim hujan sendiri telah terjadi pada akhir Januari-awal Februari lalu. Namun, bukan tidak mungkin sebagian wilayah masih diguyur hujan, meski dengan intensitas rendah.

Hal ini berlaku pula untuk wilayah Kecamatan Sano Nggoang. Melihat topografi kampung yang berada di dataran tinggi, maka dua kampung itu akan memasuki musim kemarau pada akhir bulan April.

Dengan demikian, potensi hujan masih ada di kampung tersebut hingga April, yang kemudian berganti ke musim kemarau pada Mei. Dengan adanya potensi hujan itu, warga harus berhati-hati dalam beraktivitas, khususnya ketika beristirahat di dalam rumah. Antisipasi bencana pun harus dilakukan dalam beberapa minggu ke depan.

Fenomena pergerakan tanah ini menjadi perhatian nasional. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Manggarai Barat telah menyurati Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait permintaan ahli geologi untuk melakukan kajian mendalam di lokasi tersebut.

Dari koordinasi yang telah terbangun, pihak yang berwenang untuk berbicara terkait pergerakan tanah berada pada Kementerian ESDM yakni Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Nantinya, ada tenaga teknis yang akan mengukur pergerakan tanah di lokasi bencana itu.
Kondisi rumah Simplisius Jempu (40) yang hancur karena fenomena tanah bergerak di Kampung Wae Munting, Desa Induk Nampar Macing, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, NTT, Sabtu (2/4/2022). ANTARA/Fransiska Mariana Nuka/am.



Baca juga: BIG tetapkan 10 wilayah di Bogor berpotensi tinggi tanah bergerak
Baca juga: Cilacap siapkan lahan relokasi korban tanah bergerak di Karanggintung

Bantuan Kemensos
Kesedihan dan raut putus asa yang terlihat sebelumnya pada wajah warga terdampak telah sirna. Mereka tersenyum lebar karena respon cepat Menteri Sosial Tri Rismaharini yang menerjunkan Staf Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam Kementerian Sosial (Kemensos) Heru Hendriyanto dan Muhammad Tatan Fauzi langsung ke lokasi bencana, akhir Maret 2022.

Setibanya di lokasi bencana, dua personel Kemensos itu langsung melakukan pendataan di lokasi bencana karena Kemensos berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar warga terdampak bencana.

Kemensos telah menyediakan sejumlah bantuan yang akan didistribusikan ke wilayah bencana di Manggarai Barat, diantaranya dua kampung ini. Beberapa bantuan diantaranya kebutuhan sandang seperti matras, selimut, family kit, lauk pauk, pembalut wanita, dan popok bayi.

Kemensos juga menyediakan kebutuhan pangan berupa beras reguler dan cadangan beras pemerintah.

Untuk cadangan beras pemerintah sendiri baru bisa digunakan apabila SK Tanggap Darurat Bencana dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat telah keluar. Namun, jika tidak, jenis beras yang diberikan ialah beras reguler, bergantung dari pengajuan kebutuhan beras dari Dinas Sosial Kabupaten Manggarai Barat.

Selain menyiapkan kebutuhan sandang dan pangan, Kemensos telah menyiapkan sejumlah tenda yang sewaktu-waktu dibutuhkan dalam keadaan darurat dan proses evakuasi warga harus dilakukan.

Kemensos akan menyediakan tenda keluarga dengan kapasitas 10 orang, tenda serba guna (tenda posko) dengan kapasitas lebih besar yang bisa difungsikan sebagai posko atau dapur umum, serta tenda gulung.

Untuk pendistribusian bantuan, Kemensos berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat melalui Dinas Sosial Manggarai Barat. Sebelumnya, staf Kemensos melakukan asesmen kebutuhan masyarakat, terutama bagi warga terdampak langsung. Selanjutnya, hasil asesmen itu menjadi acuan bagi Kemensos dalam penyaluran bantuan agar tepat sasaran.

Kehadiran Kemensos di tengah lokasi bencana menjadi angin segar dalam penantian warga terdampak. Kehadiran dua staf itu lagi pada Sabtu (2/4) semakin meyakinkan warga bahwa negara hadir untuk memerhatikan kehidupan mereka, khususnya dalam peristiwa bencana itu.

Kemensos pun menjamin kebutuhan logistik bagi para warga terdampak selama situasi bencana itu terjadi. Masyarakat diminta bersabar karena kondisi topografi desa itu yang mempersulit distribusi bantuan.

Tak sebatas pada pemberian bantuan saja, warga terdampak pun merindukan status tanggap darurat bencana yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Melalui pemberian status itu, upaya koordinasi dan distribusi bantuan tentunya menjadi lebih komprehensif dan masif.

Kini, warga menanti status bencana itu sembari menanti pula kehadiran ahli geologi yang akan memberikan kajian mendalam terkait fenomena pergerakan tanah. Hasil kajian itu tentunya menjadi dasar bagi pemangku kepentingan untuk proses pengambilan keputusan terkait bencana.

Di tengah penantian itu, pemerintah terus melakukan sosialisasi kepada warga bahwa peristiwa tanah bergerak mengancam kehidupan mereka.

Jika memungkinkan, mereka sebenarnya berharap direlokasi ke tempat lain yang lebih aman. Mereka ingin terlepas dari ancaman tanah bergerak yang merusak rumah  dan infrastruktur lainnya.

Upaya relokasi itu bisa dilakukan oleh pemerintah kabupaten ditujukan ke BNPB dengan melengkapi surat pernyataan bencana, pernyataan tanggap darurat bencana, dan data kerusakan.

Baca juga: Pemkab Garut tunggu PVMBG untuk relokasi korban pergerakan tanah

Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022